Kailiya Amal
Indonesia diminta berbenah menghadapi era yang kian global. MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. Hal ini mengakibatkan terbukanya keran persaingan daya kerja se-Asia Tenggara. Lalu disinilah letak persoalan pertama, daya saing tenaga kerja Indonesia menurut Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Prof. Dr. Suyatno, hanya tembus angka 4,3 % saja yang terampil. Kalah dengan Malaysia yang tembus 32,6 %. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika MEA positif diberlakukan. Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan pasar tenaga kerja di Asia Tenggara. Jangankan diminta untuk mengisi pasar tenaga kerja Asia Tenggara, pasar tenaga kerja dalam negeri pun akan dengan mudah diisi oleh tenaga kerja dari Negara ASEAN lainnya.
Beginilah Indonesia, ketimpangan lazim terjadi. Di satu sisi, globalisasi yang kian menggila mendorong Indonesia untuk berbenah. Namun di sisi lain, Indonesia tak cukup modal. Disini letak persoalan kedua, perguruan tinggi Indonesia yang merupakan institusi pencetak sumber daya manusia dan pilar utama daya saing bangsa belum siap menghadapi persaingan ini.
Menurut data terakhir tahun 2014, jumlah perguruan tinggi mencapai 3.485 buah dengan PTN berjumlah 100 (3%) yang menampung sekitar 35% atau 1.541.261 mahasiswa, dan sebanyak 3.385 atau 97% merupakan PTS dengan mahasiswa sebanyak 2.825.466 mahasiswa atau sekitar 65%. (sumber: antarakalbar.com)
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) memang menyumbang data lebih banyak daripada perguruan tinggi negeri, namun yang sangat disayangkan adalah kualitas PTS yang jauh dikalahkan oleh PTN. Segenap permasalahan muncul, mulai dari kualitas dosen cabutan, infrastruktur yang kurang memadai hingga rendahnya kualitas dan kuantitas riset. Jika tidak segera dibenahi, lalu bagaimana Indonesia siap berpartisipasi meramaikan bursa MEA?
Banyak kalangan yang menilai bahwa MEA bisa mendatangkan banyak manfaat bagi Indonesia, pun era globalisasi menjadikannya sebagai isu tak terelakkan. Benarkah demikian adanya?
Pada hakikatnya program Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah persaingan bebas tenaga kerja antarnegara ASEAN. Seperti halnya sebuah kompetisi, persaingan yang dinaungi kebebasan akan timpang di salah satu sisi. Bukan sebuah masalah yang besar, jika kondisi ekonomi Negara-negara ASEAN memiliki keseragaman tingkat kesejahteraannya. Namun dalam hal ini, tidak semua Negara siap menghadapi persaingan karena beragam faktor baik eksternal maupun internal, salah satunya faktor ketimpangan perguruan tingginya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN sejatinya adalah sebuah medium baru penjajahan di bidang ekonomi, sosial dan politik. Dengan persaingan bebas ini, Negara yang tidak siap akan semakin meluncur terjun dan hanya menjadi penyangga bagi Negara yang sukses. Sebuah kesejahteraan global ibarat jauh panggang dari api, justru hanya memperlebar kesenjangan sosial di Negara-negara ASEAN.
Jika Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan di tahun 2015, bertambahlah beban Indonesia. Rupanya pemerintah tidak pernah belajar akan arti kebebasan. Cukuplah program Penanaman Modal Asing (PMA) mengebiri kedaulatan sumber daya alam Indonesia, jangan sampai MEA juga mengebiri potensi sumber daya manusia nya pula. Inilah sebuah penjajahan gaya baru yang berhasil menipu Indonesia atas nama percepatan arus globalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H