Icarus, nama yang asing, kisahnya singkat namun sangat indah. Icarus adalah manusia yang terbang pertama kali, dalam mitos. Namun yang indah bukanlah karena dia terbang, tapi apa yang dia temukan ketika terbang.
Icarus terbang dengan himbauan agar tidak terlalu tinggi, atau terlalu rendah, perekat sayapnya tidak kuat dalam kondisi terlalu panas, maupun terkena garam laut. Icarus pun terbang, terpesona dengan langit biru, dan ringan tubuhnya yang melayang diterpa angin dan desir-desir air laut yang asin. Terus tetap seperti itu, hingga Icarus melihat matahari, sebuah keindahan, terang benderang, dan hangat. Icarus melupakan himbauan, terbang menuju ketinggian ingin menggapai matahari, terpesona tanpa sadar perekat meleleh di punggungnya.
Icarus jatuh, tentu dia jatuh, sayap buatannya lepas, namun Icarus senang, dia tertawa seraya berputar menyongsong maut menuju laut yang keras. Icarus begitu jatuh cinta dengan matahari sehingga tidak peduli akan maut, karena dia tidak pernah merasa sehidup itu sebelumnya. Begitulah dia terjatuh dengan senyuman, tanpa sekalipun mengalihkan pandangan pada matahari, dia menyalami maut dengan sayap yang rusak, tapi dengan jiwa yang penuh pula.
Pernahkah kita mencintai seperti Icarus? Memandang hal yang kita sayang dengan keindahannya, jelas panas matahari membuat Icarus jatuh, tapi dia tidak peduli, dia sangat mencintai matahari. Pernahkah atau akankah kita begitu? Memandang tiada henti pada keindahan hal yang kita sayang, tanpa sekalipun berpaling pada hal lain di luar dirinya. Semoga begitu, agar ketika akhir tiba, kita mengakhiri dengan senyum dan jiwa yang penuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H