Mohon tunggu...
Nadhya Shafwah
Nadhya Shafwah Mohon Tunggu... mahasiswi -

Sebulir pasir yang ingin kokoh di tembok peradaban.. Mencoba menceritakan liku-liku kehidupan dari sudut lain pandangan orang-orang..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia: Mental Terjajah

25 Mei 2011   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya bilang, “Indonesia ini masih terjajah!” Pasti banyak yang bilang tidak setuju. Tak apa. Wajar kalo mereka ‘merasa’ tidak lagi dijajah. Portugis, Belanda, Jepang atau -apapun itu-, sudah lama kabur dari bumi nusantara ini. Hey bung! Apanya yang terjajah? Disudut mana mereka menodongkan senjata?

Ahh terlalu bodoh kalo kita mengartikan “penjajahan” itu dengan AK-47, tank, nuklir, dll. Ini abad 21 kawan! penjajahan kayak di Palestina, Irak, dan negeri-negeri muslim lainnya itu cara jadul, gaya lama. Justru perang seperti itu malah menjadikan rakyat yang dijajah semakin kuat! Dan yang menjajah kian bangkrut!

Nahh kalo sekarang, penjajahan itu terjadi dengan halus, tak terlihat bahkan yang sejatinya dijajah pun tak merasa sedang dijajah. Eww.. menarik! Itu yang saya maksud dengan neo-imperialism.

Mari kita peta-kan :

Apakah Indonesia mengalami penjajahan gaya baru tersebut? Sadar atau tidak, setiap lini kehidupan kita digiring dan diarahkan secara perlahan tapi pasti ke dalam arus comberan Kapitalism.

Bagaimana Indonesia yang ‘katanya’ kaya tapi tak mampu menafkahi sendiri negaranya hingga harus berhutang, hutang inilah yang jadi alat ampuh untuk mengikat Indonesia hingga mau-tidak mau tunduk dalam konsensus Internasional yang merugikan. Hutang ribawi menjadikan hukum-hukum Indonesia dapat disetir sesuai kepentingan rente. Jangankan untuk membayar hutang pokok, membayar bunga-nya hutang saja tidak akan mampu. Kenapa? Pengelolaan hampir seluruh SDA dikuasai Asing akibat restu UU ‘buatan’ Asing. Privatisasi aset-aset penting oleh pihak swasta, lagi-lagi milik Asing.

Kita lihat lagi, bagaimana globalisasi menjadikan produk domestik tidak mendapat tempat dikancah persaingan pasar. Produk Indonesia cuma seperti boomerang yang dilempar kepasaran, dilirik pun enggan, dan reject karena kalah saing. Menggelikan! Gak jauh beda dengan konsep baru CAFTA.

Jadi, kalau dulu ada penjajah yang disebut VOC, kini ada nama-nama seperti : Exxon Mobile, Caltex, Shell, Freeport, Newmont. Jelas, ini adalah penjajahan dalam bentuk lain.

Seperti apa bentuk penjajahan tersebut dan apa saja senjatanya? Penjajahan pemikiran. Pelan tapi pasti. Melenakan dan membuai. Tak terlihat, tak terasa, tak terindra. Senjatanya modern, canggih dan mutakhir berupa opini, konsep-konsep liberal, ide-ide sekular, draft-draft dikte, dll.

Siapa dalang dibalik penjajahan tesebut? Eww.. sudah pastilah AS dan kroni-kroninya. Mengapa mereka? Karena AS lah bandar pengusung ideologi bobrok Kapitalism. Bukankah AS saat ini negara bangkit dan adidaya? Kaum sekuler barat mampu bangkit dengan ideologi Kapitalism, begitu juga bangsa Rusia dahulu, mereka mampu bangkit dengan memeluk ideologi Sosialisme. Namun, perlu digarisbawahi, kedua ideologi ini adalah ideologi yang berkarakter penjajahan.

Apa solusi/pilihan lainnya? Satu-satunya cuma ideologi Islam. Bukan ideologi penjajah, penaklukannya justru memberikan kesejahteraan dari sisi mana saja.

Bagaimana mungkin? Pengaturan syariah Islam melingkupi seluruh aspek kehidupan, mencakup setiap permasalahan hidup umat manusia. Jangan heran, Islam punya solusi! Islam melarang terjadinya privatisasi SDA baik oleh swasta maupun Asing. Distribusi dan kepemilikan harta diatur dengan sangat jelas; yakni kepemilikan individu, umum, negara. Negaralah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu, baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusian bukan swasta apalagi Asing. Menarik bukan?

Apapun masalahnya, syariah Islam solusinya!

Terapkan syariah, maka kesejahteraan ‘menjajah’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun