Pesan Rasul : Ibumu, ibumu, ibumu... baru kemudian ayahmu dan gurumu.
Baru 2 hari lalu berselang, 22 Desember. Ya, pada hari itu selalu diperingati sebagai Hari IBU atau Mothers Day. Disini saya tidak akan membahas bagaimana kisah panjang adanya Hari IBU tersebut, TIDAK. Bukan pula untuk merayakannya, BUKAN. Tapi disini, saya hanya ingin menyatakan bahwa moment ini menjadi hari yang 'hanya' dirayakan orang kebanyakan dan berlalu begitu saja, tak ada makna, tak ada arti. Hari IBU diisi dengan 'memanjakan' kaum IBU, menjadikan para IBU 'Ratu Sehari'. Para bapak hari itu sibuk 'bekerja' di dapur, entah memasak, mencuci, menjaga anak, dan lain-lain. Apakah perlakuan 'sehari menjadi Ratu' seperti itu yang sesungguhnya para IBU inginkan? ataukah 'sehari bermanja diri' tersebut yang sebenarnya mereka butuhkan? Sesungguhnya saya menjawab TIDAK, BUKAN itu yang kami [para ibu/wanita/perempuan] harapkan.
Lalu apa? Mari kita simak..
MENGEMBALIKAN PERAN MULIA IBU
IBU . . .
IBU. Satu kata yang begitu singkat. Tapi jika diartikan ibu punya banyak makna dan cerita yang panjang. Bicara soal ibu, tak akan habis-habisnya kita bahas. Bagaimanapun setiap kita tahu betapa pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu begitu besarnya. Saat ia harus mengandung, melahirkan, merawat, mendidik dan menjaga kita. Betapa posisi ‘ibu’ ini menjadikan seorang wanita/perempuan begitu mulia dengan seluruh pengorbanannya dalam membangun generasi unggul yang tangguh dan rumah tangga yang kokoh.
Tapi kini, potret kaum ibu jauh dari keadaan mulia tersebut. Justru kaum ibu/perempuan saat ini dekat dengan kemiskinan dan berkubang dalam keterpurukan. Apa sebab yang menjadikan kaum ibu/perempuan tersebut masih terpuruk?
Apa sebab?
Tak diherankan lagi, keadaan ekonomi yang morat-marit lah penyebabnya. Melambungnya harga barang-barang kebutuhan, pencabutan subsidi untuk rakyat, minimnya lapangan pekerjaan dan lain-lain, berdampak akut pada perekonomian rumah tangga. Akibatnya, kaum ibu/perempuan ‘dipaksa’ ikut bertanggungjawab terhadap kemiskinan. Kaum ibu berganti peran menjadi sosok pencari nafkah. Yang sejatinya peran tersebut adalah peran seorang suami/laki-laki. Inilah gambaran rancunya relasi dan pembagian peran dalam lembaga keluarga.
Tak hanya itu, karena kemiskinan pula muncul disharmonisasi keluarga yang menyebabkan runtuhnya struktur keluarga dan deret panjang persoalan hidup lainnya. Banyak kaum ibu menjadi hilang naluri keibuannya hingga tega membunuh anak kandung dan suaminya sendiri. Angka gugat cerai bertambah (63% dari 131.518 kasus perceraian di tahun 2009). Meningkatnya kasus penelantaran anak, eksploitasi perempuan, perdagangan wanita, dan lain-lain.
Derajat MULIA
Hakikatnya, seorang ibu adalah tonggak utama proses pembangunan umat dan generasi. Bagaimana mungkin generasi ideal ini akan terbentuk jika sang ibu sibuk bekerja diluar rumah dan tak lagi mampu menunaikan hak pendidikan bagi anak-anaknya?
Maka sudah selayaknyalah kaum ibu/perempuan kembali memahami perannya dalam keluarga. Bahwa ibu memiliki jabatan mulia dalam lembaga keluarga, yakni sebagai manajer rumah tangga sekaligus pendidik pertama anak-anaknya. Peran utama ini, juga merupakan bukti ketaatan kita sebagai sosok ibu/perempuan pada syariat. Mari memulai untuk menata kembali visi hidup kaum ibu “Menjadi perempuan unggul sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang melahirkan generasi cerdas, takwa, pejuang syariah dan kesakinahan keluarga, dan sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat Islam”. Ibu, raihlah kemuliaanmu dengan ketaatan pada syariat. Banggalah menjadi sosok mulia yang akan membentuk umat yang unggul dan tangguh serta rumah tangga yang kokoh. Betapa mulianya sosokmu ibu!
Wallahu’alam bi ash-showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H