Bunga zaman berkuncupan di balik semak peradaban yang kita sendiri serahkan pada kepastian paling tidak dipahami. Kita mencecap rasa di atas meja sejarah, tentang berpiring pasta dan bergelas anggur, yang kita lupa akan resepnya.
Ke mana lari gubuk-gubuk mimpi, di mana dahulu gelap mengerubung, namun cahaya benderang tinggal di diamnya hati. Kita selalu diburu waktu, yang belum lagi wangi bunga meruap, lahan dan taman cinta hilang lenyap.
Ada senandung kematian yang tak berarti, apa yang bisa dikata kepada sebuah masa, ketika jemari hanya gemar menangkapi sehembusan asap yang dikirim ke kamar kita, tanpa mereka berlayar dan mendarat.
Kita harus kembalikan pada keheningan, mengantarkan ingatan pada rahim yang melahirkan nama para bunda, kita meminta cinta dari kulit lusuh kitab-kitab tua.
Atau memang kita adalah yang tersaji di sebuah meja sejarah, sebagai hidang dan wedang dari ritual penghabisan sisa keberanian.
Rawamangun 5 Oktober 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI