”tiap penguasa punya prioritas pembangunan. Memang selalu ada yang dikorbankan. Tapi prinsip keadilan, kemanusiaan, dan non-penindasan : harus ! “ – Alissa Wahid (koordinator jaringan gusdurian)
Kutipan diatas merupakan salah satu kutipan dari berbagai kutipan para tokoh negri ini menyoal tentang pergolakan yang terjadi antara pemerintah yang berencana akan mendirikan pabrik semen di jawa tengah dan para petani pegunungan kendeng atau yang lebih dikenal dengan sebutan sedulur sikep yang menolak mati-matian pendirian pabrik yang mengancam ekosistem dan mata pencaharian mereka.
Menarik ketika kita mencoba menyoroti perjuangan srikandi kendeng dalam relasinya dengan ketidakadilan gender. Dalam Webter New World Dictionary,gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Di dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender merupakan suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam suatu Negara yang kental akan nilai-nilai budaya dan terutama nilai-nilai agama islam, maka konsekuensi logisnya adalah nilai-nilai atau norma yang ada di Negara tersebut secara otomatis akan dijadikan sumber untuk pembuatan hukum sebagai payung tertinggi dalam mengontrol perilaku masyarakatnya.
Agaknya stigma masyarakat sudah terkonstruksi oleh nilai-nilai dan norma yang ada disekitar kita. Bahwa, anggapan laki-laki lebih kuat, lebih rasional, lebih objektif dan menganggap perempuan lemah, irrasional, dan cenderung subjektif hanyalah stereotipe dari gender. Itulah mengapa anggapan diatas sering muncul, karena masyarakat cenderung tidak mau memisahkan antara konsep seks (anatomi biologis) dan konsep gender (konstruksi sosial).
Namun yang menjadi masalah utama adalah perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan utamanya yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi.
Secara kasat mata, diskresi yang dikeluarkan oleh ganjar pranowo terkait izin pabrik semen sudah lebih dari cukup untuk masuk dalam kategori marginalisasi gender terhadap perempuan. Ini jelas merupakan sebuah proses pemiskinan mengingat bahwa satu-satunya mata pencaharian para sedulur sikep ini merupakan petani dan pantang berdagang.
Izin yang dikeluarkan gubernur jawa tengah itupun tak ubahnya serangan atau sebuah invasi yang menyerang mental psikologis para srikandi kendeng. Sudah sejak tahun 2005 mereka menolak upaya pabrik yang akan mengeksploitasi sumber alam mereka. Bahkan putusan MA sempat melambungkan harapan mereka, yang memerintahkan pemerintah daerah jawa tengah untuk mencabut izin pendirian pabrik, sebelum diskresi dikeluarkan oleh gubernur jateng tersebut.
Mungkin perbedaan gender inilah yang menimbulkan persepsi pemerintah bahwa keputusan para srikandi kendeng yang mengecor kaki mereka untuk yang kedua kalinya merupakan tindakan yang irrasional, yang menafikan progam pembangunan oleh rezim jokowi yang katanya untuk kesejahteraan bersama. hal ini dibuktikan dengan minimnya pihak pemerintah yang mau menemui para peserta aksi cor semen walau aksi dilakukan di depan istana negara yang (katanya) merupakan rumah rakyat.
Akhir kata, ketidakadilan yang diarahkan pada srikandi kendeng haruslah dijadikan momentum bahwa progam pembangunan harusnya dirancang tanpa menciderai konsep gender itu sendiri. Anggapan bahwa perempuan hanya dihadapkan dalam urusan dapur dan dilarang untuk memilih pekerjaan bisa berakibat pada diskriminasi dan pelecehan. Bahkan dalam islam pun mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bukan pembedaan (discrimination).
Tuanku ya korporat..