Sebuah redaksi yang perlu dipertanyakan kepada pribadi-pribadi hidup dimuka bumi wabil khusus bagi anak negeri Indonesia. Sebagai sebuah pemicu dan juga peta menjalani kehidupan agar tak tersesat dan kehilangan arah. Terlebih kondisi hari ini, teknologi sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari menjadi keharusan setiap orang mengetahui dan mengoperasikannya.
Wacana Indonesia melek digital terus didengungkan sampai pelosok negeri, lantaran kondisi daerah di Indonesia belum merata dalam mengakses dunia digital. Provider swasta atau pun bagian dari pemerintah belum menjangkau lapisan masyarakat bawah. Dengan belum berdirinya menara jaringan penangkap sinyal dibeberapa wilayah.
Sementara, kondisi pandemi yang telah melanda Indonesia dalam kurun waktu dua tahun tidak hanya berdampak pada sector ekonomi, namun juga menyerang sendi-sendi kehidupan dalam dunia pendidikan yang mengharuskan pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen berinteraksi melalui alat teknologi dalam proses belajar mengajar.
Belum lagi, pemahaman nilai-nilai agama, norma-norma, dan aturan dalam kehidupan bagi setiap orang sebagai pagar pembatas manakala hendak berbuat sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Tentu hanya bisa diberikan melalui pendidikan dari keluarga di tengah kondisi pandemi, selain dapat di akses melalui dunia digital. Atas uraian diatas, penting kiranya bagi setiap orang membangun konstientisasi untuk mempertanyakan masa depan itu miliki siapa sebenarnya?
Lantaran, tidak semua orang menjalani hidup dengan peta yang jelas untuk menuju masa depan lebih baik. Ditambah system korporasi yang membelenggu kehidupan politik menimbulkan image buruk bahwa setiap orang hanya bisa jadi penguasa (eksekutif) atau legislator (yudikatif) bila memiliki modal ekonomi yang cukup lebih atau dibantu dengan pihak ketiga dalam menghantarkannya duduk di kursi parlemen atau eksektif, membuat perusahaan hanya mementingkan untung dan rugi bukan lagi kemaslahatan bagi setiap orang.
Bila, terjadi pergolakan dari pekerja dengan perusahaan maka pemerintah seakan menutup mata lantaran sudah mendapat gelontoran dana sebagai modal untuk dirinya duduk di kursi kekuasaan. Lantas, dimana posisi pemerintah bila kondisi demikian selalu terulang dari waktu ke waktu?
Sudah 76 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaan dari tangan penjajah, namun kondisi saat ini hanya menjadi romantisme di masa lalu bagi penguasa yang dahulunya tidak pernah merasa berada di garis perjuangan dalam mempertahankan bangsa dan Negara atau melawan rezim otoriter yang menghalalkan segala cara demi melanggengkan jabatan.
Ini bukan soal siapa saya, kamu, dan dia tapi persoalan anak bangsa yang menjadi bagian dari maju atau mundurnya sebuah negeri yang memiliki potensi alam melimpah baik di darat dan lautan. Melihat kondisi saat ini seakan melihat cerita sejarah yang sudah diangkat dalam layar bioskop dengan system penjajahan yang berbeda waktu dan pelaku.
Dikatakan berbeda waktu dan pelaku, lantaran dahulu yang menjajah adalah orang asing dan waktunya sudah terjadi dimasa lalu, sementara penjajahan yang dirasakan saat ini melalui system yang dibuat oleh anak negeri dengan mengadopsi penjajahan pola lama, menindas, mengekploitasi, meninabobokan, memperpecah persatuan, dan menerima pangkat dan harta untuk berdiam diri atas penjajahan yang dilakukan selama ia berada dalam kondisi aman dan nyaman. Terserah orang lain dalam kesulitan hidup, lantaran tidak mau berdamai dengan system penjajah yang terus mengeruk keuntungan untuk kantong pribadi.
Apakah ini hanya persoalan segelintir orang??? Tidak ini adalah persoalan kolektif, rakyat pun harus turut serta menyelesaikan persoalan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Seperti halnya, pandemic semangat gotong royong harus tumbuh dalam pelbagai lini persoalan yang terjadi di negeri ini. Terus, apa untungnya bagi rakyat biasa yang membantu pekerjaan pemerintah? Untungnya adalah kebaikan dan kemaslahatan yang tidak perlu mendapat pengakuan dari semua orang. Karena orang baik akan senantiasa diomongin oleh orang yang merasa dibantu. Sementara bila kebaikan hanya claim seseorang, orang pun akan membantah dengan sendirinya.
Jadi, persoalan masa depan bukanlah persoalan punya duit atau tidak untuk menggapai tujuan dengan berpikir positif dan serius menjalani proses serta konsisten sampai tercapai. Tapi lebih cenderung kepada persoalan, kesadaran diri guna bermaslahat buat orang lain tanpa mengambil yang bukan hak dirinya. Sebab, mereka yang terjerat korupsi adalah mereka yang mengambil hak orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H