Cancel culture sepertinya lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia manakala melihat anomali yang tidak biasanya terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Ya, kasus Saiful Jamil bukan lah pertama, masyarakat melakukan tindakan untuk melakukan boikot terhadap pelaku yang sudah selesai menjalani hukuman penjara.Â
Namun, tak jarang masyarakat pun melakukan gerakan untuk memboikot seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apakah tindakan ini tidak berlebihan bila menyasar orang yang memenuhi kebutuhan hidup atas dasar kerja profesional???
Kiranya, ada yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat kita umumnya yang kerap membuat petisi untuk memboikot seseorang dalam mencari atau menafkahi diri dan keluarganya.Â
Lantaran, tindakan tersebut tidak sama sekali mencerminkan budaya timur yang mengedepankan sopan santun dan ramah terhadap sesama manusia, tidak melabelkan seseorang hanya dilihat dari satu dudut pandang.
Ya, pada kesempatan ini penulis prihatin dengan dampak yang akan terjadi bila masyarakat kita tetap melatenkan budaya boikot terhadap seseorang atau pun perusahaan yang mana harus ditanggung oleh mereka yang tak bersalah atau mereka yang menggantungkan mata pencahariannya dari bidang tersebut.Â
Disinilah peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk dapat menerapkan peraturan dan mendidik masyarakat sebagai manusia sosial yang senantiasa tidak bisa melepaskan diri dari bantuan orang lain.
Baca Juga: Keluarga Korban Jangan
Sisi Lain Cancel Culture
Pertama, bila kita hendak membuka diri dan memperhatikan lingkungan sehari-hari kita akan menemukan kejadian serupa yang dapat merugikan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. contoh sederhana ialah mantan pelaku kejahatan yang telah menjalani hukuman selama di penjara, sepantasnya mendapatkan kesempatan untuk bisa diterima dalam kehidupan masyarakat.Â
Namun, kerap kali kita memberi label mantan narapidana sehingga menutup kesempatan orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Â