Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.[1] Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan bagi bangsa yang berpenduduk besar dan berwilayah luas sehingga kondisi ini harus menjadi proyek sosial utama bagi mereka yang peduli akan bangsanya.
 Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Membaca adalah hal yang sangat signifikan dan harus menjadi perhatian utama dalam membentuk karakter generasi muda, karenanya setiap aktivitas belajar mengajar harus menggiring peserta didik dalam meningkatkan minat dan kecintaannya terhadap bacaan.
 Ada banyak faktor yang bisa kita jadikan sebagai sebuah objek dalam menganalisa penyebab kemalasan masyarakat indonesia dalam membaca, namun pada kesempatan kali ini penulis fokus pada titik nadir persoalan yang jarang dibahas oleh para pemerhati bangsa. Institusi pendidikan formal negara seperti sekolah dan kampus punya peranan penting dalam membentuk minat baca pelajar dan mahasiswa, sehingga objek yang perlu untuk kita revitalisasi adalah metode belajar mengajar yang seharusnya mendekatkan peserta didik dengan bacaan ataupun literatur ilmiah sebagai bentuk kulturisasi budaya membaca di lingkungan akademik.Â
Kulturisasi bacaan di dunia akademik harus dilakukan dalam proses pembelajaran formal sebagai usaha pelibatan peserta didik dalam berinteraksi dengan dunia literasi. Usaha pembiasaan ini harus dimulai sejak dini agar supaya peserta didik terbiasa untuk berlama -- lama bersama bacaan yang akan meningkatkan wawasan dan merangsang pikiran.
Di era pemerintahan jokowi, usaha untuk meningkatkan kualitas masyarakat indonesia dilakukan melalui proses liberalisasi media sosial agar mudah dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum. Maka jangan heran melihat setiap orang akan dengan mudahnya mengakses informasi, membuat akun anonim atau bahkan mendirikan media -- media informasi yang tentu punya peran dalam membentuk opini publik. Hal ini tentu saja sebuah kemajuan bagi bangsa kita, hanya saja segala sesuatu tidak bisa dilepaskan dari dampak positif maupun negatifnya.
Kemudahan masyarakat dalam mengakses sebuah informasi akan melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan. Salah satu yang menjadi titik utama adalah proses pengolahan informasi yang disandarkan pada sumber yang belum tervalidasi dan internet akan menjadi sumber pencarian pertama dan paling utama bagi setiap pelajar yang membutuhkan informasi. Di sisi lain informasi yang tersedia dalam bentuk audio visual praktis juga dengan sangat mudah diperoleh melalui akun -- akun yang ada di internet. Maka akses informasi yang cepat kemudian diiringi oleh ketersedian media audio visual praktis tentu akan mengikis minat baca pelajar secara drastis.
Secara umum penjabaran kondisi pendidikan yang telah dipaparkan sebelumnya berkutat pada dua hal yang kontras. Pertama, upaya peningkatan minat baca dan kedua, Â tersedianya media belajar audio visual praktis yang mudah di akses. Hal tersebut jelas akan menimbulkan adanya pertemuan dua sisi yang saling tarik menarik antara ketersediaan akses audio visual dengan upaya peningkatan minat baca.Â
Secara fitrah manusia selalu mencari hal yang instan maka sangat wajar ketika mereka lebih suka menonton sebuah buku yang telah di filmkan (audio visual) dari pada harus membacanya. Kedua hal tersebut sejatinya bisa saling melengkapi antar satu sama lain, hanya saja pelajar yang masih sangat labil dalam mengakses informasi membutuhkan pengawasan dan pengaturan yang lebih intens dari orang -- orang yang lebih dewasa.
Kondisi tersebut sudah menjadi konsekuensi logis atas setiap kemajuan ilmu pengetahuan yang ada sehingga kesiapan dari segala aspek sangatlah kita butuhkan sebagai tameng dari setiap masalah -- masalah  yang akan timbul bisa terintegrasi menjadi sebuah potensi yang akan memajukan kualitas generasi masa depan.
[1] http://edukasi.kompas.com/