Kala hati terbelah, langkah berirama bimbang. Tapak-tapak kasih, hambar melenggang. Cinta lama kehilangan nada, sumbang entah mengapa? Itulah penggalan sebuah puisi pendek, mengawali perjalanan panjang ini. Ketika pertama bertemu, tanpa basa-basi kucoba beranikan diri meminta nomor ponselnya. Gayung bersambut, langsung diberi meskipun sedikit ada kata pengantar..emang mo mojok, minta no hp?. Hanya itu kata yang terlontar, nomor ponselnya pun sudah ter-save di ponsel saya.
Komunikasi pun terjalin, dari tanya-tanya alamat rumah, aktifitas apa, sudah berkeluarga, sudah lama tinggal di kota ini, dan seterusnya. Pada akhirnya sepakat untuk bertemu supaya bisa berbicara langsung dan terbuka. Singkat cerita, kunjungan perdana pun kulakukan ke rumahnya. Sambil duduk di kursi ruang tamu rumahnya, cerita pun mengalir menjadi canda, senda gurau yang pada akhirnya ada getaran yang berjudul cinta. Ibarat magnet dan sepotong besi yang berdekatan, ternyata melengket.
Kekuatan cinta mulai terbangun, rasa saling suka pun mulai terasa. Sepakat kemudian untuk jalan bersama. Sore yang cerah, bersama terpaan angin pantai, menggoyang tirai-tirai jendela sebuah kamar dari suatu tempat yang terbilang mewah di kotaku. Hembusan angin pantai menerpa, meniup lalu membuat aku dan dia terkulai, terbuai, terhempas dalam gelora cinta. Hanya ada dinding, gemericik air di kamar mandi, suara TV yang menjadi saksi bisu dari sebuah perjalanan cinta. Namun suara-suara itu tak mampu menandingi desahan, pacu napas dan gelora aku dan dia yang telah dimabuk cinta Bagiku, ini bukan kesempatan. Tapi inilah pembuktian dari sebuah tegaknya menara cinta. Karena semua didasari oleh rasa saling suka.
Mengutip sebaris syair lagu yang pernah hits dari duet vocal Trie Utami dan Utha Likumahuwa… kau ada yang memiliki, aku ada yang memiliki semua berlalu bagai melodi indah yang syahdu terdengar, karena tak munafik aku dan dia memang saling cinta. Niat, janji, cita dan angan menjadi sebuah kesepakatan untuk diagungkan sebagai landasan kekuatan cinta.
Apakah ini sebuah cinta terlarang? Bagiku tidak dan dia pun menyatakan tidak . Kami-pun menanamkan tekad dan prinsip larangan itu hanyalah persoalan legalitas sosial, tapi Tuhan men-takdirkan aku dan dia untuk saling mencintai. Semuanya pun terus berjalan, bergulir seiring waktu, hari demi hari, ada suka, duka, curiga, cemburu bahkan pemberontakan karena kekesalan rasa, namun cinta tetap kokoh berdiri tegak, masuk menghujam jantung aku dan dia menusuk tajam, membenam kedalam sendi-sendi belulang, rongga dan pori-pori sebuah kenikmatan yang tak akan mungkin tertampik begitu saja ibarat menyeka debu diatas kaca.
Sungguh ini sebuah kebenaran dari kenyataan, bukan kepalsuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H