Mohon tunggu...
Kaharuddin Anshar
Kaharuddin Anshar Mohon Tunggu... Nelayan - Anak kehidupan, tumbuh di lorong desa

bayangan; pencerahan purba dalam membentuk sajak-sajak kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Uang Panai” dan Demokrasi

4 September 2016   21:46 Diperbarui: 4 September 2016   22:28 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam tradisi masyarakat bugis-makassar, uang panai’ selalu menjadi hal yang tak pernah luput dari perbincangan, selalu diulas dalam irisan waktu, sebuah tradisi berkepanjangan untuk  meminang seorang perempuan yang digugu begitu dikasihi. Uang panai dalam tradisi bugis-makassar, merupa uang yang disediakan mempelai pria yang diberikan kepada pihak perempuan untuk pesta pernikahan.

Uang panai” mungkin menjadi momok menakutkan ditengah melemahnya nilai dolar terhadap rupiah. Bagi pihak pria meminang perempuan yang paling di kasihi, seolah tersandung sebuah batu kehidupan yang begitu besar. Tetapi pria bugis-makassar juga selalu tak akan mundur sebelum meminang kekasihnya. Mungkin tidak sedramatisir perjuangan cinta Majnun bersama Laila di lembah Hijaz. Bagi Pria bugis-makassar, meminang kekasih berarti melakukan kerja kerja penuh keihklasan berbalut pengorbanan, mungkin juga derai air mata.

Tetapi tulisan ini bukan hendak merefleksi keberadaan uang panai pada sisi kebudayaan, pada ruang yang kerap diperbicangkan para lelaki yang belum menikah, atau mereka yang disebut para jomblo sejati karena mencoba menyaingi kesendirian Tuhan. Tulisan ini hendak melakukan refleksi relasi sosial diantara uang panai’ dan kutub demokrasi.

Adakah yang membilangkan bahwa dalam demokrasi, kita pernah mengalami “jatuh cinta” kepada seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki daya kharismatik, karena kemampuannya dalam memimpin, seturut dengan itu masyarakat merela memilih tanpa syarat apapun. Atau adakah pemimpin yang hadir lalu membuat decak kagum, seolah membuat orang yang telah memilih kekasih tiba-tiba merasa hendak beranjak dari orang yang dikagumi sebelumnya.

Dalam episentrum demokrasi prosedural, hal tersebut hanyalah fatamorgana bias dari pantulan cermin ideal demokrasi. Kita tak  menemukan adanya kesukarelaan, perjuangan memilih dalam paparan episentrum demokrasi kita, justru menampakkan  yang berjuang mati-matian menggelontorkan uang, untuk di pilih adalah mereka yang tak pernah membuat masyarakat jatuh hati secara alamiah, ibarat dalam risalah panai" yang terbalik, yang hendak dipilihlah yang memaksa untuk menyuntingnya. Meskipun disana tak ada risalah keterikatan hati. Disana muncullah penyulap politik, menjatuhkan pilihan hati secara tak wajar, merias sang pemimpin agar kita terkecoh pada mata yang kerap keliru menilai karena telah terpseona.

Bagaimana mungkin, membuat orang jatuh hati dari hamparan baliho disudut-sudut jalan, memoles senyum dengan kata-kata yang aduhai, bukankah itu hanyalah rayuan politis dalam teatrikal pentas demokrasi sebagai nyanyian usang yang di propagandakan berulang-ulang. Padahal dalam pelbagai novel atau kisah romatis, semisal Novel Ditepi Sungai Piedra Aku Duduk Dan Menangis karya novelis Paulo Coelho menujukkan memilih itu adalah persoalan masuknya seseorang kedalam hati secara romantis tanpa ada rekayasa yang memesonakan. Jadi tentu Bukan karena baliho, atau segepok uang yang di hambur atas nama tegaknya keangkuhan dalam demokrasi sehingga pilihan harus dijatuhkan.

Dalam risalah uang panai’ ia adalah kesukarelaan lelaki memilih kekasihnya karena soal relasi hati yang telah terikat memeluk dalam satu tujuan. Sedang uang dalam demokrasi tidak lebih dari seonggok alat untuk memeluk secara paksa rakyat hingga tak beralih sadar, keserakahan itu tentu digenggam kelompok dominan namun minoritas untuk menghalau kesadaran objektif masyarakat.

Tetapi kita berharap Pendulum demokrasi yang subtansial memang mestinya  mentamsilkan, gerak kesukarelaan rakyat memilih pemimpin, disebabkan  dua hati rakyat dan hati pemimpin bertemu dan telah jatuh hati pada sosok yang dianggap mewakili harapan mereka. Demokrasi yang subtansial tentu jauh dari cacat serta irisan kelemahan, sebab ia perkawinan dalam pelaminan demokrasi yang akan membahagiakan rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun