Mohon tunggu...
Kaharuddin Anshar
Kaharuddin Anshar Mohon Tunggu... Nelayan - Anak kehidupan, tumbuh di lorong desa

bayangan; pencerahan purba dalam membentuk sajak-sajak kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesona Ahok

23 Maret 2016   16:38 Diperbarui: 23 Maret 2016   17:12 1733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="assets.kompasiana.com/statics/files/2014/09/20/14111687828075.jpg"][/caption]Irama dan gelombang pesona, munculnya pemimpin organik (non parpol) semisal Ahok di Jakarta, bagai gemuruh badai bagi rumah-rumah angkuh partai politik yang sejak kala dibangun dari megahnya berhala pragmatisme berpolitik. Badai itu, kini meluluh lantahkan sikap angkuh dan congkak partai politik yang kerap di gugu sebagai pilar penentu munculnya pemimpin-pemimpin baru dalam demokrasi.

Hembusan  perubahan itu,  menghempas wajah serta rupa partai politik. Tak ada yang tersisa, wajah partai politik  kini tertunduk lesu mungkin pula bersimpuh di antara puing-puing kenyataan bahwa partai politik mengalami kegagalan meramu fungsinya.

1998-2016. Waktu yang cukup lama, Sejauh itu reformasi telah menggelindingkan harapan, tetapi selama itu, hikayat kebuntuan partai melahirkan pemimpin dari rahim politik adalah laku serta tutur yang tidak bisa dipungkiri pula. Perlahan waktu mulai menasbihkan, partai politik selalu hidup dalam jarak yang begitu jauh dengan masyarakat. Kini rupa lama partai politik purba itu perlahan tenggelam, ia karam diterpa badai politik baru. Sebuah badai dari politik kesukarelaan rakyat.

Setelah politik purba-pragmatisme perlahan karam, Peraliham musim semi politik pun tiba. Harapan perubahan yang dinanti kian lama, dijamu penuh harap oleh rakyat. Politik kini hadir dalam rupa lain. Ia  tak lagi sepenuh paksa. Kini ia merupa politik kesukarelaan, ia menembus batas-batas suku, etnis, agama, serta daerah. Lihatlah semua itu, gegap gempita rakyat begitu meriah menjemput model kepemimpinan Ahok di jakarta. Mereka bersatu membangun kritik konstruktif atas gejala partai yang hanya menjadikan rakyat sebagai alat dalam demokrasi prosedural.

Tetapi, apa yang salah dengan politik kesukarelaan, partai tanpa malu kemudian menggugat dan besikukuh bahwa politik kesukarealaan sebagai sebuah upaya deparpolisasi. Aneh, tapi sebuah fakta, sengkarut pikir yang tak objektif di ajukan untuk meruntuhkan kebebasan berdemokrasi yang juga di junjung luhur dalam konstitusi berkebangsaan.

Stigmatisasi negatif politik kesukarelaan tersebut mengkristal penuh tajam,  mungkin karena ladang perburuan kekuasaan mulai menyempit, dan partai politik tak mampu mengikuti  irama dan pesona indah politik kesukarelaan yang muncul di tengah masyarakat.

Politik kesukarelaan rakyat mengusung calonnya tanpa jalur partai di tuduh sebagai sebuah upaya deparpolisiasi, ia mulai dihambat  dengan kekerasan institusional yang dilakukan oleh partai politik, sebuah model kekerasan yang kerap menyejarah lewat kekuatan politik parlemen. Kekerasan institusional, muncul kepermukaan dalam wujud  rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah untuk menambah persyaratan jumlah dukungan untuk calon perseorangan. 

Senja kala partai politik, sebut mereka yang kian tak percaya dengan partai politik. Bukankah ditolaknya partai dalam tatakrama kehidupan politik,  memberi  ruang lain dari istilah deparpolisasi era otoritarianisme Soeharto dengan deparpolisasi di era demokratisasi pasca reformasi.

Deparpolisasi era otoritarianisme kala itu mahfum dipahami lahir dari gerak eksternal  ditandai dengan tindakan rezim yang mengkrangkeng partai yang tidak berkuasa, saat itu psikologi masyarakat di tekan untuk menjauhi partai yang mereka gandrungi. Sedangkan deparpolisiasi era demokratisasi ditandai dengan gejala menyeruaknya pisikologi masyarakat yang mulai memilih menjauh  secara sukarela dari partai politik untuk menentukan pemimpinnya.

Deparpolisasi dalam demokrasi adalah rupa yang di peroleh partai politik dari  proses gerak alamiah partai politik. Tindakan partai politik yang menciptakan pola koruptif, politik transaksional, politik kekerabatan dan ketak mampuan menciptakan perubahan menjadi penyebab rakyat secara perlahan menjauhi partai politik, saat itulah deparpolisasi telah dilakukan oleh kader partai politik sendiri, perlahan partai mulai berada di jalan sunyi tanpa massa politik. Ada bunyi lonceng kehancuran jika partai tidak segera berbenah diri, dan masih saja terus mencipta deparpolisasi terhadap dirinya sendiri.

Dalam demokrasi, menyeruaknya psikologi masyarakat yang berada pada ambang jenuh terhadap tradisi partai politik, lalu memilih menjauh dari partai politik adalah ciri proses perjalanan demokrasi di tingkatan masyarakat yang mulai selangkah lebih progresif membangun kritik langsung pada partai politik.

Memang mahfum pula kita ketahui, Ciri yang paling pokok dalam demokrasi adalah kebebasan. Sebab itulah  salah satu prinsip penuh luhur dalam UUD 1945 menyemaikan tentang jaminan kemerdekaan berserikat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kala itulah partai politik didaku  menjadin pilar utama,  kemerdekaan berserikat dalam ruang demokrasi ke-Indonesiaan.

Tetapi wujud demokrasi kemudian diramu lain oleh partai politik, ia hikayat zaman modern. Dirituskan penuh sakral, sepanjang trayeknya hanya gaung menggemakan kedaulatan politik, namun di posisi yang lain ia gamang tentang kedaulatan ekonomi bagi rakyat. Gamang tentang kesenjangan pembangunan yang merawankan resisitensi sosial.

Partai politik dalam demokrasi yang subtansial tidak hanya menjadi mesin pelengkap menuju kekuasaan. Partai politik sebagai institusi legal politik harus menjadi saluran kehendak rakyat. Sebab itu kealpaan partai politik melaksanakan fungsinya mencirikan negara  atau pemerintah daerah terus akan berada dalam ruang instabilitas. Kondisi itu memungkinkan gelombang politik kesukarelaan rakyat melawan rezim politik.

Samuel P Huntington ilmuawan politik mengatakan, partai politik merupa ciri tegas masyarakat modern, Fungsinya adalah mengorganisir massa dibidang politik, tetapi bukan semata mendekatkan masyarakat dengan  kekuasaan, partai politik sebagai institusi legal politik mesti membangun jembatan mencipta kesejahteraan bagi rakyat.

Tradisi penuh kealpaan partai politik dalam merawat fungsinya berujung senjangnya hubungan partai politik dengan masyarakat. Kekerasan institusional, lewat produk kebijakan yang selalu  dipentaskan secara meriah , tak merasa malu, berujung pada sebuah titik jenuh politik. Rakyat perlahan  menjauhi partai politik dan mencari alternatif lain.

Fenomena-fenomena tersebut justru tidak menjadi bahan evaluasi, untuk mengevakuasi sekarat partai politik sebagai pilar demokrasi. Alih alih melakuakan perbaikan dalam pengkaderan partai politik, fenomena munculnya pemimpin organik (non parpol) dan politik kesukarelaan dari rakyat dianggap sebagai deparpolisasi. Padahal secara konstitusional jalur independen adalah jalur yang juga konstitusional sama halnya dengan jalan dukungan partai politik itu sendiri.

Huntington lalu menutur tegas bahwa kekerasan dan isntabilitas negara, sebagian besar karena derasnya perubahan sosial, dan semakin maraknya mobilisasi kelompok-kelompok baru yang berpartisipasi dalam politik. Namun Pada sisi lain, perkembangan lembaga-lembaga politik sebagai saluran justru lamban, bahkan mengalami stagnasi yang begitu akut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun