Judul:Ibnu Sina, Tawanan Benteng lapis Tujuh
Judul Asli:Sajin Qal’ah Al-Aswar as-Saba’ah
Penulis:Husayn Fattahi
Penerjemah:Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit:Zaman, Jakarta
Tahun terbit:cet. I 2011
Tebal:295 halaman
Membaca karya tokoh besar akan membuat takjub pembacanya. Berbagai imajinasi akan melambung, membayangkan keelokan sang tokoh, kejeniusannya dan akhirnya pembaca akan tertarik ingin menjadi seperti “dia”. Karyanya memang mengundang orang lain berdecak kagum, “kok bisa dia menghasilkan karya seperti itu, kapan dia bekarya? Apakah waktu yang tersedia cukup banyak sehingga sang tokoh dengan leluasa bekarya? Apakah dia tidak bekerja, tidak punya istri? Kapan makannya? Bagaimana kehidupan sosial-masyarakatnya?”
Memang wajar, jika pembaca hanyut pada karya sang tokoh. Bayangan yang ada hanyalah enaknya sang tokoh, posisi di menara gadingnya saja. namun benarkah kehidupan sang tokoh jalannya lempang begitu saja? tidak ada naik-turunnya, susahnya bahkan yang lebih ngeri nyawanya kadang hampir melayang saat bersinggungan dengan alam nyata?
Hal serupa, mungkin, terjadi pula pada Ibnu Sina (Avicenna). Tokoh muslim yang berkecimpung di bidang kedokteran, filsafat dan masih banyak lagi bidang yang ditekuni, ini akan membuat kita berdecak.Karya monumentalnya adalah Qonun fi Thib, yang membahas tentang ilmu kedokteran. Karyanya ini menjadi rujukan dunia kedokteran selama berabad-abad. Sehingga tak ayal, jika George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran modern, seorang ilmuwan Islam yang terkenal pada semua bidang, tempat dan waktu.
Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan yang produktif, mengarang kurang lebih 450 buku yang pokok besar pembahasannya adalah dunia kedokteran dan filsafat. Karya Qonun Fi Thibnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Healing dan The Canon of Medicine.
Terlepas dari karya yang monumentalnya itu, bagaimana lika-liku kehidupan Ibnu Sina? Apakah dia sangat lenggang kangkung menjalaninya sehingga dia dapat menghasilkan karya sebanyak itu?
Buku ini mengurai rekam-jejak perjalanan hidup dokter-filsuf muslim tersebut (Ibnu Sina), sejak masa kecil di Bukhara hingga dia bersentuhan dengan penguasa, dan hidup dari istana ke istana sebagai dokter pribadi. Sebagaimana harga yang mesti dibayar oleh cendikiawan yang menceburkan diri ke dalam kubangan kekuasaan, Ibnu Sina berhadapan dengan siasat jahat, tipu-daya, dendam kesumat akibat kedengkian para petinggi istana lantaran perhatian khusus yang diperoleh dari sultan.
Bermusim-musim dia hidup dalam kejaran Mahmud Ghaznawi, penguasa Turki yang menjanjikan hadiah 5.000 keping emas bagi yang berhasil membekuk as-syaikh ar-rais itu hidup-hidup. Dari istana Ibnu al Ma’mun (Gurganj) dia menantang terjangan badai di sahara Khawaran, yang menyebabkan dia menggelandang seorang diri karena sahabat karibnya tewas.
Lepas dari sebuah kesulitan, Ibnu Sina dihadapkan pada intrik-intrik politik yang jauh lebih menyakitkan. Saat menjabat sebagai perdana menteri di pemerintahan Syams ad-Daulah (Hamdan), dia nyaris terbunuh lantaran kebijakannya dianggap tidak berpihak pada angkatan bersenjata, dan pada masa kekuasan Ala ad-Daulah, ia harus mendekam di penjara lapis tujuh. namun, dalam kekalutan dan ketidaknyamanan itulah Ibnu Sina melahirkan karya opusnya Al-Qonun fi at-Thib dan As-Syifa’ yang telah menggemparkan khazanah keilmuan. Hingga akhirnya, tepat pada hari pertma Ramadhan 428 H, tepat diusianya 75 tahun, bapak dokter modern ini menghembuskan nafas terakhirnya karena diracun.
Karena dirimu, mintalah padaku yang mahal dan yang murah, mintalah padaku untuk tidak mengingatmu, tapi, jangan memintaku untuk memadamkan jiwa dan ragaku. Kebenaran ada bersamamu. Aku sama sepertimu, akan hidup seribu tahun lagi. Kita akan hidup bersama seribu tahun. Selamat tinggal.
Surat pribadi ini menjadi bukti bahwa karyanya kekal berabad-abad dibandingkan dengan jasadnya.
kaha.anwar@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H