Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peace of Education

26 Maret 2011   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13011173191127356762

Perkembangan kehidupan masyarakat,baik dalam skala politik, agama, pendidikan maupun hal yang lain, sungguh memprihatinkan kita semua. Belum berakhir isu Wikileaks yang menyatakan ada penyalahgunaan kekuasan oleh Presiden SBY,kasus gayus Tambunan yang tak kunjung selesai, kasus Bank Century yang hampir abu-abu, kasus terorisme yang selalu berakhir kematian, kini muncul lagi kasus bom buku. Entah siapa yang bermain dan yang mengendalikan isu tersebut, yang pasti keadaan negeri ini tak pernah sepi dengan isu-isu kekerasan, hilang satu tumbuh seribu.Seolah-olah kekerasan menjadi medium untuk menunjukkan jati diri individu, golongan maupun kelompok. Entahlah, mengapa kekerasan dipilih sebagai alat untuk menunjukkan bahwa: aku, dia, kita masih ada. Apakah kita sudah kehilangan kesantunan untuk menunjukkan, untuk menyikapi ketidaksukaan, ketidaksetujuan dengan pihak lain?

Indonesia, yang dikenal sebagai Negara pluralis, bermacam suku bangsa, bahasa, kepercayaan dan agama (dan dalam agama terdapat berbagai aliran) kini perlahan-lahan memasuki fase “prasangka”, saling curiga. Masyarakat kita, memandang tajam dan sedikit-sedikit rasan-rasan: siapa tetangga kita, siapa orang yang berpakaian nyleneh itu? Siapa kelompok yang berbeda cara ibadatnya, gaya bicaranya itu?. Keadaan ini sebenarnya sungguh menyiksa dan membuang waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, dan terseret ke dalam rumor yang tak jelas. Ini bukan kewaspadaan tetapi lebih menjrus ke sikap ketidakpercyaan kepada “liyan” (the others).

Apakah sikap masyarakat kita salah? Pertanyaan ini tidak bisa langsun dijawab. Butuh penelusuran lebih jauh dan dalam, untuk menemukan: mengapa masyarkat kita akhir-akhir ini mudah sekali curiga? Factor apa yang menyebabkan tingkat kewaspadaan masyarakat kita yang hampir melampau titik kritis ini?

Sejak dahulu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi, bahkan lebih. Tingkat toleransi ini lebih baik dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain. Toleransi yang terjadi di Indonesia bukanlah kategori toleransi negatif, melainkan positif. Toleransi negatif lebih cenderung tanpa ikut campur, lebih besifat membiarkan orang lain, kelompok lain beraktivitas, sedangkan toleransi positif lebih mengarah ikut merasakan, membantu, dan mencarikan alternative untuk orang lain, kelompok lain dalam skala hidup bermasyarakat. Jadi, toleransi positif lebih bersifat simpati dan empatif terhadap selain dirinya.

Kenyataan sekarang: masyakat mulai mengencangkan ikat pinggang, menutup rapat-rapat pintu rumah dan mendelikkan mata jika ada orang yang tak biasa, tak dikenal, apalagi aneh. Penanaman rasa curiga-mencurigai tak lain merupakan ekses yang panjang dari serangkain peristiwa di Tanah Air akhir-akhir ini. Entah peristiwa yang terjadi di Tanah Air ini merupakan peristiwa yang murni terjadi atau sengaja diciptakan. Murni terjadi: sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hak sebagai warga yang tak terpenuhi, dst. Peristiwa yang diciptakan: sebagai bentuk teror terhadap masyarakat untuk menunjukkan bahwa masyarakat memerlukan perlindungan dari orang X, kelompok Y atau institusi-institusi tertentu. Atau boleh juga malah sebaliknya: yakni menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Negara, Negara tidak bisa menjamin keamanan, ketentraman di masyarakat. Dengan kata lain, terror yang terjadi dewasa ini tak lain hanyalah limbah politik.

Sayangnya, di negeri religious dan menjunjung nilai-nilai agama ini, belum mampu menjadikan nilai-nilai agama sebagai benang jahit untuk merajut “tepo sliro” yang sedang terkoyak ini. Malah ada kecenderungan, agama menjadi belati yang tajam untuk merobek keberagaman, pluralism dan multukulturilisme di negeri ini. Agama menjadi alat yang mudah sekali untuk menggerakkan kekerasan. Padahal, kekerasan yang terjadi itu belum tentu murni permasalahan agama, melainkan (bisa saja) permalahan perorangan, kelompok politik.

Penajaman-penajaman intoleransi ini malah semakin diperparah lagi oleh dunia pendidikan. Pelajaran pendidikan agama sebagai basis penguatan, penanaman nilai-nilai ketuhanan, malah sering terjadi sebagai wahana indoktrinisasi suatu paham keagamaan, mungkin hal ini sedikit terjadi pada sekolah-sekolah umum. Bukan menampik kemungkinan, gaya pengajaran agama yang eksklusif akan merambah juga pada sekolah-sekolah uum, bahkan fenomena sekarang ini, sebatas pengamatan penulis, corak dan symbol keagamaan lahir dan sering terlihat di sekolah-sekolah umum. Apakah, fenomena ini salah? Tidak, tidak ada yang salah dengan pengagungan symbol-simbol agama, kesalahan akan terjadi jika symbol-simbol itu terlalu membelenggu dan membutakan mata dan akhirnya tidak bisa menerima dan mengakui bahwa ada symbol-simbol selain dirinya.

Dunia pendidikan, khususnya sekolah karena lembaga ini masih diyakini sebagai wahana strategis penanaman nilai-nilai kehidupan termasuk ideology politik atau agama, harus lebih berperan dalam penanaman nilai-nilai kehidupan yang harmonis, toleransi, tasamuh dan menghargai perbedaan. Selama ini pengajaran keagamaan lebih cenderung masalah peribadatan dengan segala pernak-pernik, sekaligus mahzabnya. Padahal mahzab tersebut merupakan hasanah dari berbagai mahzab yang lain. Artinya kita memiliki peluang untuk mengambil mahzab yang mana, yang sekiranya cocok dengan kita, dan mahzab-mahzab tersebut merupakan ijtihad yang tak luput dari kesalahan. Sehingga, dengan mengatahui sejarah mahzab tersebut, diharapkan kita lebih elegan memandang mahzab, aliran orang lain tanpa harus merendahkan.

Kurikulum pendidikan agama sekiranya perlu dibenahi, dikoreksi ulang bahkan perlu ditambah dengan muatan-muatan multikulturalisme. Sebetulnya, muatan-muatan tersebut sudah ada, hanya saja masih sebatas definisi, tuntuna

[caption id="attachment_98294" align="aligncenter" width="215" caption="sumber gambar: id-id.facebook.com"][/caption] n dan tuntutan aplikatifnya kadang lepas dari evaluasi. Dan, yang paling penting adalah guru/ pendidik, sosok inilah yang menjadi ujung tombak, pelaku sekaligus penerjemah bahkan mengambil peran lebih, sebagai mufti,pemfatwa. Meski ada kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki guru, namun kompetensi tertentu kadang sulit dinilai oleh pihak sekolah, karena kompetensi tersebut dinilai dalam kehidupan sehari. Dan kompetensi tersebut belumlah bisa mengcover keseluruhan dari sosok guru.

Jadi, untuk mereduksir kekacuan, ketidaknyamanan dan sifat eksklusifistik ini sekiranya perlu pendidikan damai (peace of education). Pendidikan ini tak hanya melibatkan pihak sekolah tetapi keseluruhan manusia, lingkungan terutama diri pribadi. Karena ranah peace of education adalah damai dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat, lingkungan bahkan Tuhan. Kasus sekarang, damai belumlah tercipta secara sempurna bahkan ditingkat diri pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun