Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Serabut-an -

MJS Press

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nasihat-nasihat Burung Pipit

10 Agustus 2011   07:19 Diperbarui: 4 April 2017   17:23 1703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul:Kitab Usfuriah, Kisah-kisah dari Lektur Pesantren

Penerjemah:Musthafa Helmy

Penerbit:Pustaka firdaus

Tahun terbit:Agustus 1993

Tebal:li + 152 halaman

Hadist riwayat ‘Abdillah Ibn Umar r.a. menyebutkan , Nabi SAW . bersabda: “orang penyayang adalah orang yang disayangi oleh Allah yang Maha penyayang. Maka sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian disayangi Dzat yang di langit”.

Cerita yang mendukung hadist ini ditemui pada kisah Khalifah Umar yang suatu saat berjalan di kota Madinah. Dilihatnya seorang anak kecil sedang mempermainkan seekor burung.

Umar muncul ibanya melihat si burung, lalu membelinya. Dan melepaskannya ke angkasa. Maka, ketika Umar wafat salah seorang ulama terkenal melihat Umar dalam mimpi.

“Apa kabar, Umar?” tanya Sang Ulama. “Apa yang telah Allah lakukan atasmu?”

“Allah telah mengampuniku dan melewatkan segala dosaku”.

“Apa sebab? Sebab kedemerwananmu? Keadilanmu? Atau karena zuhudmu yang membuatmu acuh tak acuh terhadap dunia?”

Umar menggeleng.

Katanya kemudian: “Ketika kalian menguburkanku dan menutupiku dengan tanah, dan meninggalkanku sendiri, datang dua malaikat yang menakutkan aku. Akalku hilang, gemetar sendi-sendi tulangku. Kedua malaikat itu mengambilku dan mendudukkanku, dan hendak menayaiku. Tapi, tiba-tiba, muncul suara tanpa sosok yang menghardik keduanya. Tinggalkan hamba-Ku ini, jangan kalian takut-takuti. Aku menyayangi, dan segala dosanya telah Ku-ampuni, karena telah menyayangi seekor burung pipit di dunia. Pahalanya, Kusayangi dia di akhiratnya”. (hal. 3-4)

Bagi dunia pesantren tentunya kitab Usfuriah sudalah familiar. Biasanya kitab ini diajarkan pada bulan Ramadhan, di waktu sore hari atau sehabis sholat tarawih. Segaja para kyai atau kepercayaannya mengajarkan kitab ini pada saat yang santai, senggang. Diwaktu para santri berada pada kondisi psikologis yang mungkin saja lagi down. Memang dalam kategori kitab klasik yang ada dipesantren kitab ini merupakan kitab yang ringan pembahasannya, karena isinya seputar cerita-cerita penuh hikmah.

Meskipun isi kitab ini seperti hiburan bagi santri, tetapi sebetulnya isi kitab ini bisa disebut sebagai kitab yang penuh ibrah, pelajaran. Justru dari muatan yang ringan inilah, kitab ini memposisikan dirinya sebagai pengasuh yang penuh arif dalam membangkitkan semangat santri untuk giat beribadah, berzikir dan yang paling utama adalah menebarkan kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah. Bukankah ini malah inti dari Islam dan pokok risalah Nabi Muhammad SAW itu sendiri?

Dalam kehidupan beragama, Umat memang tidak dapat lepas dari konsep pahala-dosa. Sebab, karena dalam kenyataannya tidak seorang pun—atau sedikit sekali— manusia yang bisa benar-benar bebas dari pamrih. Selain itu manusia pada dasarnya tidak seorangpun yang menolak keuntungan, apa pun bentuknya. Maka tidak heran jika dalam Al-Qur’an, Hadist maupun ceramah-ceramah keagamaan bertebaran pesona Surga dan kengerian Neraka sebagai bentuk cambuk dan iming-iming bagi umat (basyira wa nadzira).

Memang, pahala bukanlah terminal akhir persinggahan manusia dalam beribadah kepada Allah. Ada yang lebih tinggi, yang harus diraih oleh semua manusia dalam “ta’abudi” pada-Nya, yaitu keridhaan Allah. “dan ridha Allah lebih agung dari (semua pahala) itu”, kata al-Qur’an (9: 72). Dalam dunia sufi masalah ridha, cinta Allah sudah familiar sekali. Para sufi dalam beribadah kepada Allah bukanlah memburu Surga atau disingkirkan dari baranya api Neraka. Bukan itu yang mereka inginkan, tetapi Sang Pemilik Surga dan bara api Neraka itulah mereka mencarinya. Tak jarang keluar dari ungkapan para sufi, misal Rabi’ah al-Adawiyah yang berani memasang dirinya dikungkung dalam kobaran Neraka jika sekiranya hal itu bisa menambah cinta-Nya pada dirinya.

Tetapi, maqom- maqom tersebut, kenikmatan-kenikmatan “menghamba” pada-Nya sangatlah jarang sekali dimiliki oleh manusia. Maqom ini oleh dibilang maqom kaum elite, orang yang berani mengatakan bahwa segala hidup dan geraknya hanya untuk Allah semata tanpa menginginkan surga atau takut neraka, sangatlah jarang (kecuali sebagai verbalisme semata dalam pengantar sholatnya). Orang akan garuk-garuk kepala atau bahkan langsung saat itu juga berhenti beribadah seumpama ada pengumuman: Allah tak akan membalas surga atau menghukum dengan neraka kepada kamu sekalian.

Namun, Allah maha tahu seluk beluk semua ciptaan-Nya. Dan dalam kehidupan umat beragama kaum awam lebih banyak dibandingkan dengan kaum elitnya. Dari sinilah agama diturunkan. Keberhasilan misi suatu agama bukan terletak peliknya masalah falsafah atau theologinya melainkan bagaimana menanamkan kesadaran sekaligus membentuk watak dan tindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kesadaran akan pahala dan dosa harus ditanamkan.

Meski beramal baik menjadi anjuran dalam kehidupan sehari-hari, untuk menggapai Surga dan menjauhkan diri dari sentuhan Neraka, namun tetap saja setiap manusia dilarang berbangga diri dengan amalannya dan “GR” memperoleh surga. Amal manusia tetap bukan kunci utama pembuka gerbang Surga atau hakim yang berhak memasukkan dirinya dalam Neraka. Surga dan neraka tetaplah hak mutlak Allah. Rahmat Allah yag harus selalu dinanti-nantikan. Dalam kitab ini dikisahkan: Umar pernah bercerita kepada Zaid Ibn Aslam. Di masa umat-umat terdahulu pernah hidup seorang hamba yang sangat banyak beribadah tapi tak pernah mengharap rahmat Allah. Suatu saat matilah ia.

“Apa untukku dari-Mu, wahai Tuhanku?” tanyanya setelah mati.

Tuhan menjawab: ”Neraka!”

“Betapa, wahai Tuhan” ia menyergah. “Lalu kemana ibadahku, upaya kebajikanku?”

“Kau berputus asa terhadap belas kasih-Ku di dunia. Maka hari ini Kuputuskan juga rahmat-Ku.” Jelas bahwa kita memang dituntut untuk beramal kebajikan tetapi jangan sampai amal kebajikan itu membutakan mata kita sehingga dengan entengnya bergumam: “Surga pasti tempatku!”

Kitab sejenis Usfuriah sendiri bukanlah kitab studi Hadist. Kitab ini murni kitab yang diperuntukkan bagi masyarakat awam. Sehingga titik tekan dari kitab ini adalah isinya, bukan sohih atau dhoifnya hadist yang tercantum di dalamnya (tentunya masalah ini dapat didiskusikan dan masalah sohih tidaknya Hadist yang digunakan sebagai rujukan amalan-amalan tambahan sudah sejak lama terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama). Kitab ini mempunyai misi menanamkan watak kepada para santri atau kalangan awam untuk bersikap zuhud (tidak terpesona oleh gemerlap dunia), adab kepada ibu-bapa, ulama, dan orang lanjut usia (walaupun ia Nasrani atau Majusi), sikap tawakal, sikap sabar, kebiasaan menggembirakan orang lain, optimis kepada rahmat Allah dan ampunan-Nya, sikap jujur, syukur, menjaga kehormatan, anti riya’ atau kasbul halal yakni: usaha susah payah, kadang dengan tangis, untuk mencari hanya rizki yang halal.

Penterjemahan karya-karya klasik sangatlah perlu demi menambahan hazanah keilmuan bagi umat beragama. Apalagi, kalau mengingat bahwa kebanyakan kaum beragama didominasi kaum awam maka sudah selayaknya penterjemahan-peterjemahan kitab-kitab klasik dilakukan. Selain menambah keilmuan umat beragama tentunya akan semakin membuka lebar ruang diskusi masalah-masalah keagamaan. Sehingga masalah agama bukan saja didominasi oleh kaum elit beragama yang sekarang cenderung asyik di menara gadingnya

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun