Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malam Siji Suro

28 November 2011   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bau kemenyan mulai memenuhi sekitar Tugu. Dandang Kinanti ditabuh, ting....pelan tapi menggema dan awet rasanya suara itu.  Beberapa orang dengan pakaian jawa, namun berbeda, mulai melantunkan syair-syair jawa. Syair yang sebenarnya berisi do’a yang dipanjatkan pada Tuhan yang maha Tunggal. Orang-orang yang mengikuti acara tersubut dengan khidmad larut dalam hening. Lama.

Setelah prosesi do’a selesai, segera Laskar Metaram menuju Alun-Alun Utara untuk memulai ritual tapa bisu mubeng benteng. Kali ini titik perjalanan diawali dari Tugu, biasanya titik kordinat perjalanan dimulai dari Alun-Alun Utara. Pasalnya, selain ritual tapa bisu juga ada acara ruwat “Boemi Metaram”. Kalau kita ingat kata “Metaram” kita akan ingat dengan cikal bakal Keraton Yogyakarta. Metaram merupakan kerajaan pertama di wilayah Yogyakarta yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Metaram sendiri merupakan daerah “hadiah” dari Pajang kepada Penembahan Senopati karena telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dengan Tombak Kyi Pleretnya.

Tugu sendiri bagi masyarakat Yogyakarta merupakan titik sentral dalam kosmologisnya. Tugu Yogyarta bukan sekedar “tetenger” atau malah sekedar tanda wisata saja. ada keistimewan tersendiri dengan Tugu Yogyakarta. Segero kidul, Keraton, Tugu dan Gunung Merapi merupakan garis imajiner bagi pandangan kosmologis Yogyakarta. Konon, sebelum jalan Malioboro seramai sekarang ini, orang dapat melihat puncak tugu dan puncaknya merapi. Namun kini, mungkin hal seperti ini tidak bisa lagi dinikmati sebab begitu ramai dan munculnya berbagai reklame yang menghiasi pemandangan sepanjang jalan Malioboro.

Arak-arakan terus mendekati Alun-Alun Utara, di sana para pinisepuh keraton sudah menunggu. Sesampai di Alun-Alun Utara, do’a kembali di gelar, tembang “purna jati” dilantunkan. Saya tidak mengerti bahasanya, yang saya tahu hanya bait terakhir “hayu rahayu”. Kata yang menunjukkan keselamatan, keselarasan dan kerukunan bagi semua elemen Yogyakarta, baik alamnya maupun manusia. setelah doa selesai dipanjatkan, perjalanan tapa bisu dimulai. Yang paling depan adalah pasukan pembawa tombak (maaf namanya tidak tahu) yang mirip seperti miniatur Tugu Yogya kemudian disusul oleh para pendeta (ulama), dandang kinanti, gong kyai brojo, gunungan dan laskar yang lainnya.

Rute perjalanan mengambil dari “ringin kembar” ke barat, menelusuri Kauman, Benteng Kulon, Benteng Kidul, Benteng Wetan, terus ke barat dan masuk lagi ke Alun-Alun Utara. Sepanjang perjalanan itu dandang kinanti dan gong Kyai Brojo ditabuh, tetapi menabuhnya bukan sembarang menabug, ada aturannya. Seperti yang dikatakan pembawa kedua alat tersebut bahwa cara menabuhnya setiap lima belas langkah atau dua puluh lima langkah kaki. Dan menabuhnya gantian, dandang kinanti dulu baru kyai brojo.

Apa makna tapa bisu mubeng benteng? Mungkin setiap orang akan memberikan tafsirnya sendiri-sendiri, tergantung daya tangkap sasmitanya. Dimaknai sebagai karnaval, pentas budaya bisa. Pasalnya dalam parade tersebut banyak nilai seninya. Kalau dimaknai mistik, ritual sakral juga tidak masalah karena sejak awal sampai akhir tapa itu dipenuhi do’a-do’a dan berbagai alat-alat ritual kejawen. Mulai tombak, gong Kyai brojo, dandang kinanti dan pakaian jawa plus aksesorinya, yakni keris. Saya yakin keris yang dibawa bukanlah keris yang sering dipakai dalam hajatan pernikahan adat jawa, melainkan keris-keris yang memiliki daya tertentu. Keris bagi orang jawa bukan sekedar tajam, seperti halnya pisau atau pedang. Kalau kita amat-amati keris jika hanya berfungsi untuk menebas tentu kurang efisien sebab panjang keris kurang dari 50 cm, bahkan ada keris yang panjangnya hanya sepanjang jari-jari. Begitu pula, keris umumnya kecil tidak lebar. Pembuatanya banyak ritualnya, bukan asal membuat.

Tapa bisu, ada yang mengatakan, berkaitan erat dengan awal mula berdirinya kerajaan Metaram. Sebagaimana yang saya tulis di atas, Metaram adalah merupakan hadiah dari Pajang untuk Panembahan Senopati yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Tanah Metaram diakui sebagai “tanah perdikan”, yakni wilayah yang bebas dari pajak kerajaan tetapi masih menjadi wilayah kekuasaan kerajaan. Dahulu, wilayah Metaram merupakan daerah hutan (Alas Mentaok) gung liwang-liwung. Secara geografis dan strategisnya Metaram merupakan daerah yang tidak memberikan keuntungan finansial, karena jauh di pedalaman, jauh dari Laut Jawa dan dekat dengan Laut Selatan yang terkenal dengan ombaknya ganas.

Namun, beberapa orang yang weruh sak durunge winarah, meramalkan bahwa daerah tersebut akan menjadi wilayah terkenal makmur dan menjadi pusat kerajaan hingga titi mangsanya. Oleh karena itu, Panembahan Senopati dengan para juru spiritual dan juru nasehatnya berupaya membangun kerajaan karena tahu bahwa tidak lama lagi Kerajaan Pajang akan berakhir. Supaya tidak  ada curiga dari Pajang maka pembangunan kerajaan tidak begitu mencolok. Nah, persiapan utama adalah pemabangunan benteng. Bagaimanapun benteng mempunyai berbagai fungsi, sebagaimana pagar bagi rumah. Konon pembangunan benteng itu selesai tepat 1 Suro atau Muharram. Untuk mengamati perkembangan pembangunan benteng tersebut, pihak kerjaan melakukan patroli “mubeng” benteng. Namun, dalam patroli tersebut tidak menggunakan atribut kerajaan atau dikawal pasukan secara mencolok, tujuannya untuk menghindari curiga telik sandi kerajaan Pajang. Bahkan dalam prosesnya dilibatkan masyarakat sekitar keraton.

Mengapa harus bisu dan di malam hari? Menurut saya, yang kurang ilmu ini, soal bisu adalah proses untuk menghinangkan cipta. Menahan kata-kata sebentar untuk mendengarkan suara-suara dari luar dirinya. Mendengarkan suara alam, suara rakyatnya, dan mencoba untuk menyatu dengan wilayah sekitar. Membisu bukanlah “bisu”, tetapi diam yang disengaja. Menahan kata-kata sejenak. Bukankah jika mansia tak mampu menjaga omongan hanya akan mendatangkan bencana bagi dirinya? Mulutmu harimaumu!, begitu pepatah mengatakan. Diam atau berkatalah yang baik!, begitu kata bijak mengatakan. Karena mulut orang hormat jadi hina, yang semula dipercaya menjadi diacuhkan lingkungan. Bahkan dalam pepatah jawa “sabda panditaning ratu tan keno wola-wali” . kata-kata raja, ulama, pejabat, figur publik tidak boleh mencla mencle “isuk dele sore tempe”. Omongan para leluhur dulu adalah sabda, mirip doa yang cepat dikabulkan. Jika tidak bisa menahan omongan maka akan membahayakan dirinya dan orang lain.

Dipilih malam, sebab malam merupakan waktu yang kebanyakan orang diam, istirahat tetapi bagi yang berbuat durjana malam merupakan waktu yang tepat untuk melancarkan niat jahatnya. Malam adalah waktu lengah bagi mereka yang lengah, tidak waspada. Malam juga waktu glenikan, rasan-rasan, musyawarah para underground yang perlu diwaspadi. Selain itu, dipilih malam supaya mampu mendengar keluh kesah para rakyat yang kemungkinan malam itu lagi kesusahan, kelaparan dan berbagai persoalan hidup yang lain.

Saya jadi teringat dengan kisah sang kholifah ( kalau tidak salah, Umar Bin Khotob) memanfaatkan malam untuk menyelidiki keadaan rakyatnya. Kemungkinan ada yang bertolak belakang dengan laporan pejabat tenatng kondisi rakyatnya, karena “ABS” (asal bapak senang) sejak dulu sudah ada. saat jalan-jalan itulah Sang Kholifah menemukan keluarga yang kelaparan, anaknya menangis minta makan sedangkan orang tuanya tidak memiliki cadangan makanan sedikitpun. Ketika ditanya oleh Kholifah mengenai pemimpinnya si keluarga tadi malah menghardik, menjelek-jelekan. Raja yang tidak tahu akan kondisi rakyatnya , hanya mementingkan diri dan keluarganya. Selepas itu Sang kholifah pulang, diambilnya beras dan dipanggul sendiri kemudian diberikan kepada keluarga yang kelaparan plus menjelek-jelekkan tadi.

Itulah gambaran bagaimana sikap pemimpin yang seharusnya, merakyat (bukan sekedar omongan kampanye), melebur atau “manunggal kawula-gusti”. Sayangnya, sekarang jarang ada pemimpin yang turun langsung, apalagi diwaktu malam, melihat kondisi rakyatnya. Kalaupun ada umumnya, malah dengan rombongan, pengawal, plus penyambutan dengan meriah, rakyatnya disuruh “dandan” agar tidak terlihat miskin. Jadi inilah jaman “kebohongan” dan rakyat yang asyik dibohongi dan belajar untuk membohongi pemimpinnya.

Kembali pada malam. Waktu malam, dalam ajaran Islam, merupakan waktu yang ijabah. Waktu untuk mengheningkan diri, bertahajud untuk memohon kebaikan dunia akhirat bagi dirinya dan kelaurganya. Memohon agar mendapat maqoma mahmudah, derajat yang mulia. Di waktu malam itulah kita untuk “mubeng” , mengitari, bertafakur secara siklis tentang diri kita. Menyelami siapa kita, dari mana kita berasal, untuk apa kita lahir di alam buana ini, dan setelah kita tiada kelak akan kemana (sangkan paraning dumadi). Malam bukanlah waktu untuk dihabiskan untuk tidur (kudu cegah dahar lan guling), berpesta pora di mall, kafe, diskotik, lokalisasi. Malam merupakan waktu untuk mengistirahatkan diri, merebahkan materialisme kita dan segera meng-isro’-kan ruhaniyah kita menuju Yang Maha Tunggal, Gusti Ingkang akaryo Jagad. Malam merupakan sinyal untuk menghentikan diri kita agar tidak terus menerus berputar pada lingkaran duniawiyah.

Perlu digaris bawahi, apa yang kita saksikan dengan ritual bisu dengan segenap peralatannya (begitu juga dengan ritual lainnya) hanyalah simbolik saja. hal ini tidak terlepas dari ungkapan “wong jowo nggone semu”. Segala sesuatu tidak dikatakan secara blak-blakan, melainkan dengan simbol demi menghormati liyan.  Semua dimaksudkan agar seseorang dapat memahami pribadi orang lain secara baik sehingga dapat dihindari adanya sikap antipati, tidak senang, ketersinggungan dan kemarahan seseorang yang ditimbulkan oleh cara bersikap kita. Inilah yang dinamakan cara berpikir samudana (simbolik) yang bertujuan menjaga harmoni pergaulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun