Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Serabut-an -

MJS Press

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fikih Ramah Lingkungan

22 Januari 2012   01:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13271967021053797707

Judul:Al-Qur’an & Konsevasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Sya’riah.

Penulis:DR. Mudhofir Abdullah

Penerbit:Dian Rakyat, Jakarta

Tahun terbit:cetakan pertama 2010

Tebal :xiv+365 halaman

Bencana kini begitu akrab menyapa Nusantara ini, mulai dari banjir, tanah longsor, angin ribut dan lainnya. Belum tuntas dengan permasalahan bencana, isu lain bermunculan semisal global warming yang menjadi ancaman serius bagi penghuni di bumi ini. Global warming seakan menjadi ancaman dalam jangka panjang, jika tidak diatasi, dapat menyeret bencana-bencana lain di permukan bumi ini.

Saat ini, mungkin, ada rasa heran bagi kita semua: kenapa bencana sering terjadi? Bukankah kemajuan teknologi begitu dahsyatnya namun seolah tak berdaya menghadapi gempuran bencana? Seolah teknologi hanya menjadi peramal namun sedikit yang mampu mengatasi baik dari jumlah kerusakan fisik maupun korban manusia. selain itu, yang paling pokok, bagaimana peran agama mengatasi permasalahan ini? Bukankah saat ini agama seolah menjadi primadona, sesuatu yang di tempatkan di atas kepentingan manusia? kok, kenyataannya kerusakan alam juga semakin menggila, coba kalau dibandingkan dengan zaman kepercyaan penyembah pohon, batu atau kekuatan alam lainya? Adakah yang salah dengan tafsir ajaran agama kita? Jika benar ada yang keliru dalam menafsiri ajaran keagamaan, bagaimana membangun argumen ajaran agama sebagai tujuan tertinggi untuk melindungi lingkungan kita?

Cara pandang manusia terhadap bumi yang selama ini bersifat antroposentris dan memperoleh dukungan dari doktrin-doktrin agama yang tidak dipahami secara kritis telah menjadi sebab bumi merana. Krisis bumi, karena itu, menjadi tak terhindarkan dan ia telah mengalami apa yang dikenal dengan the tragedy of the commons. Krisis bumi yang ditandai oleh krisis lingkungan krisis energi, musnahnya biodiversity, krisis air, pemanasan global, dan percepatan kerusakan hutan menandai sebuah kriris spiritual manusia yang telah melampui tingkat kewajarannya.

Paradigma antroposentrisme telah menyeret berbagai malapetaka muncul di bumi ini. Paradigma ini memandang bahwa manusia harus dipandang sebagai pusat diri, dan di atas aspek selainnya. Manusia seakan menjadi raja diraja di bumi dengan segala kuasanya yang boleh menindas makhluk-makhluk lainnya. Menurut Seyyed Hossein Nasr, antroposentrisme telah mengalami pembusukan dari dalam berupa krisis spiritual sehingga rasa menguasai berpadu dengan motif-motif non-ekonomi yang ternyata lebih berbahaya dibandingkan motif ekonomi, karena yang pertama menyangkut aspek mental-spiritual yang mengendalikan aspek-aspek batin.

Nasr juga menyebutkan bahwa krisis lingkungan itu lebih disebabkan krisis spiritual. Manusia modern telah melakukan desakralisasi terhadap alam. Alam telah dijadikan sebagai pelacur dan harus dipakai serta dinikmati semaksimal mungkin.

Membangun kembali kesadaran spiritualitas yang menyangkut cara pandang manusia baik dalam skala dirinya, sesamanya, lingkungannya serta terhadap Tuhannya adalah hal yang penting dilakukan. Agama selama ini dipahami hanya sebagai alat untuk melayani Tuhan yang hanya menyangkut relasi vertikal saja, harus diluaskan daya jangkaunya, tidak hanya vertikal tetapi menyangkut wilayah horisontalnya manusia.

Konservasi adalah amanah bagi semua makhluk hidup untuk memilih aneka ragam kehidupan dengan segenap sistemnya. Dalam buku ini, penulis mengemukakan bahwa konservasi merupakan tujuan tertinggi syari’ah (al-maqashid al-syari’ah). Syari’ah dijadikan sebagai pendektan untuk menjaga kesejahtraan lingkungan, yang meliputi tiga pendekatan yakni: ekoteologi, ekosofi, dan eko ushul fiqih.

Pendekatan ini menempatkan relasi Tuhan, manusia, dan alam semesta secara baik, akrab, dan penuh hormat. Alam merupakan menifestasi Tuhan yang paling nyata, karenanya wajib dijaga dengan penuh rasa khidmat dan tanggung jawab. Pendekatan ini merupakan instrumen penting bagi umat Islam dalam merespon dan melakukan tindakan nyata atas krisis-krisis lingkungan dan langkah antisipasinya.

Khazanah konservasi lingkungan berbasis syari’ah yang berintikan pada konsep maqoshid al-syari’ah, konsep manusia sebagai khalifatullah fi al-‘ardh, dan konsep ihsan merupakan bentuk kearifan lingkungan yang memiliki kekuatan spiritual dan mengisi jiwa moral hukum atau fikih. Pengembangan konservasi lingkungan berbasis syar’iah, kerena itu, memperkuat basis intelektual dan spritual yang melicinkan jalan bagi tindakan konservatif terhadap lingkungan berikut cara-cara melindunginya. Di tingkat lokal, konservasi lingkungan berbasis syari’ah membekali umat untuk bertindak arif terhadap lingkungan, menerapkan prinsip hidup hemat, tajam membaca tanda-tanda zaman, dan protektif terhadap al-dharurat al-khamsah yang merupakan bagian organik dari tujuan syari’ah.

Konservasi lingkungan berbasis Syari’ah ini juga mencerminkan paradigma fikih inklusif yang tidak lagi berkutat pada persoalan legal-formal dan eskatologis, tetapi beranjak menjemput bola dunia atasi krisis lingkungan global. Bersama dengan kearifan tradisi besar agama-agama di dunia baik dalam wujud ekoteologi maupun ekosofi, konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah memberikan sumbangan etis sumbangan etis dan moral dalam seluruh upaya pembentukan etika global tentang penyelamatan warisan bersama, yakni: planet bumi.

Buku ini hadir disaat yang tepat, di mana kerusakan alam yang kian hari kian menggila serta peran agama, khusus hukum agamanya, digunakan hanya untuk memuaskan diri pribadi dengan Tuhannya. Dengan demikian, buku ini dapat menjadi wacana fikih baru yang patut dikembangkan, didiskusikan kembali oleh para “punggawa agama” guna lebih mempertajam peran agama sebagai rahmatan lil ‘alamin. Buku ini bukan kitab fikih baru seperti fatwa, melainkan lebih sebagai pemantik untuk merumuskan formula-formula baru fikih yang selama ini cenderung stagnan dan eksklusif.

Khoirul Anwar

kaha.anwar@gmail.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun