Judul Buku:Laila Majnun
Penulis: Nizami
Penerjemah:Dede Aditya kaswar
Penerbit: OASE Mata Air Makna, Bandung
Tahun terbit:Cetakan XI Februari 2009
Siapa pun orangnya pasti mengalami cinta dan bahkan berharap dapat mereguk cinta. cinta memang menjadi sesuatu yang indah dan menawan bagi siapa saja. Tidak peduli bentuk “indah” dan “menawan”nya seperti apa atau berwujud apa. Keindahan cinta bukanlah sebatas wangi dan merekah kuntum mawar tetapi meleputi duri wawar itu sendiri. Cinta meliputi segalanya. Suka dan lara adalah suguhannya. Orang yang mengalami cinta memang tak selamanya diliputi keindahan, tetapi bisa juga kesedihan, lara bahkan kesengsaraan yang tak tanggung-tanggung meminta pengorbanan sang pecinta. ‘beginalah cinta deritanya tiada akhir jua”, kata Ki Pat Kai.
Cinta memang aneh. Karena keanehan itulah orang yang di luar cinta ingin sekali melukiskan, menginterprestasikan tentang cinta. namun apalah arti melukiskan, itu hanya usaha mengcopy keindahannya. Kenyataan cinta memang tidak sepenuhnya bisa diwakilkan pada kanvas. Untuk mengetahui cinta orang harus mengalaminya sendiri. Seperti jawaban yang pernah Al-Ghazali berikan kepada temannya soal bagaimana nikmatnya hubungan suami istri, kata Al-Ghazali, “Baru aku tahu kalau ternyata kamu tidak hanya impoten tetapi ternyata juga bodoh. Kenikmatan itu tidak bisa diceritakan begitu saja melainkan harus dialami”. Begitu pula cinta, yang tidak mudah untuk melukiskan kesajatian nikmatnya cinta itu seperti apa, kecuali kalau kita sendiri lebur di dalamnya.
Ketakjuban akan cinta membuat lupa sebagaian manusia. di tengah kehidupan kita terdengar unen-unen, “Wong yen lagi gandrung ora perduli mbledose gunung, wong yen lagi naksir ora perduli perang nuklir, wong yen lagi kepikat ora perduli dino kiamat”. Memang cinta begitu dahsyatnya hingga menggerakkan orang melupakan sekitarnya. Karena cinta tangan Zulaiha tersayat pisau tanpa terasa. Karena cinta Istri Ayyub setia mendampingi Ayyub meski dalam keadaan derita mengkungkung hidupnya. Karena cinta Khatidjah setia mendampingi Muhammad SAW melawan rasa takut dan kuatir saat Beliau pertama kali di datangi Jibril. Karena cinta pula, Muhammad SAW sabar dihujani batu oleh penduduk Thaif dan menolak tawaran malaikat penjaga gunung untuk mengubur penduduk yang berani bertindak aniaya, malah sebaliknya beliau mendoakan mereka. Begitu agung perilaku beliau, begitu agung perilaku yang dilambari cinta.
“Kalau kamu benar-benar cinta maka taatilah perintah-Nya, maka engkau akan mendapatkan kasih-Nya”. Cinta butuh pengorbanan dan sikap “nurut” dari yang dicintai. “Laila, kekasihku, belahan hatiku! Aku adalah budakmu, kurbanmu: aku adalah sang pemburu yang tertangkap oleh hewan buruannya! Jiwaku tidak mampu melawan tuan yang menguasainya. Jika dia berkata, ‘minum anggur cinta dan mabuklah!, maka aku akan menurut; jika ia berkata, ‘jadilah gila oleh hasrat!’, siapakah aku hingga berani melawannya? Tidak mungkin orang gila seperti Majnun dapat dijinakkan, maka janganlah menjinakkanku.
Keadaan orang terkena cinta memang susah untuk dijelaskan. Begitu pula orang yang jatuh cinta terlalu nikmat sekali menggambarkan sang kekasihnya. Seolah setiap ‘wujud’ adalah kekasihnya: “setiap hembusan angin membawa harummu untukku. Setiap kicaun burung mendendangkan namamu untukku. Setiap mimpi yang hadir membawa wajahmu untukku. Setiap pandangan menampakkan bayananmu padaku. Aku milikmu, aku milikku, jauh maupun dekat. Dukamu adalah dukaku, seluruhnya milikku, di mana pun ia tertambat.”
Cinta itu memang bukan sebuah ilmu yang cukup diajarkan di bangku sekolah, diseminarkan di gedung-gedung mewah. Cinta yang dimiliki Majnun adalah cinta sejati. Sebuah cinta yang tidak hanya diwakilkan pada kata “love you beb!” atau diwakilkan pada kado saat istemewa. Cinta sejati tak pernah menuntut apa-apa dari sang kekasih. Cinta sejati bukanlah adegan jual beli: aku mencintai maka serahkanlah apa yang kau miliki, termasuk kehormatan sang kekasih. Cinta sejati justru memberi dan terus memberi pada sang kekasih (give and give), meski dia tahu sang kekasih tak kan pernah memberikan apa-apa pada dirinya. Jalan cinta sejati hanya dapat ditempuh oleh mereka yang siap untuk melupakan diri mereka sendiri. Demi cinta, kesetiaan harus dibayar dengan darah dan jantung mereka, ketenangan jiwa mereka. Jika tidak, cinta mereka tak berati apa-apa. “Maka biarkan cintaku menjadi pelindung rahasiaku. Biarkan kesengsaraan yang dibawa oleh cinta membelai jiwaku! Apalah artinya bahwa penyakitku ini tidak memiliki penyembuh? Selama kau tetap sehat, penderitaanku tidaklah menjadi penting.”Majnun membuktikan itu semuanya. Majnun melebur dalam cinta dan menanggung semua penderitaan karena langkah yang diambilnya: berpegang tuguh cintanya pada Laila.
Membaca kisah Laila Majnun memang tidak mudah untuk mengartikan apakah cinta yang dikisahkan oleh Nizami benar-benar mengisahkan cinta manusia kepada manusia ataukah semua yang dituliskan merupakan bentuk perjalanan cinta manusia kepada Allah. Kita tahu dalam dunia spiritual khususnya dunia tasawuf kata-kata cinta memang kerap kali digunakan dan Tuhan sendiri dianggap sebagai kekasihnya.
Bagi kita, sebagai pembaca, tentunya mempunyai kewenangan untuk menikmati sekaligus menginterprestasi cerita Laila Majnun ini, entah itu memposisikan sebagai perjalanan cinta manusia terhadap Tuhannya ataukah sebagai murni cerita cinta antar manusia an sich. Sebagaimana cinta itu sendiri, untuk merasakan bagaimana sesungguhnya cerita ini dan bagaimana posisi kita terhadapnya, tak lain kita harus membacanya dan menikmati setiap kalimat jalan ceritanya. Siapa tahu, anda saat ini tengah sama jalan cintanya dengan cerita cinta Laila Majnun. Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H