Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tempe: Ini Ceritaku, Apa Ceritamu?

27 Juli 2012   21:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_203139" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: antaranews.com"][/caption]

Jika ada orang menyebut : “dasar kamu tempe!” pastinya kita akan meradang, tidak terima. Sebab kata “tempe” tersebut berasosiasi merendahkan, melecehkan eksistensi, kekuatan atau adi gang, adi gung, adi guna kita. Kalau Indonesia dikatakan sebagai “negara tempe” juga tidak bisa menjadikan kita bangga di mata umum, sekali lagi, sebab tempe selalu berkaitan dengan hal yang rendah.

Begitu pula, jika Anda makan di warung makan dan lauk yang Anda pilih hanya tempe dan tahu plus air putih yang jadi minumannya, tentu Anda akan dikatakan lagi bokek alias kere, meski sejatinya kantong Anda tebal dengan duit Dollar. Lauk yang Anda pilih memang bukan sekedar punya uang atau tidak, tetapi selera atau tidak, alergi atau tidak jika Anda menkonsumsi protein hewani. Tetapi orang menilai tentunya tidak akan menelisik lebih jauh soal alergi atau tidak, yang penting lauk Anda tempe dan itu menunjukkan Anda lagi bokek. Tidak usah marah jika itu penilainnya: tetaplah menikmati tempemu sebelum tempe hilang dari peredaran.

Dahulu, saat masih merantau, saya dan Pak Lik setiap hari makannya Cuma tempe. Tempe menjadi menu sehari-hari, jika tidak ada tempe maka Pak Lik selalu menanyakannya. Sampai tetangga sekitar begitu heran: kok bisa ya, setiap hari hidup dengan tempe? Saya paham maksud gremengannya tetangga tersebut yakni mengira kami ini sedang ngirit alias pelit untuk sekedar membeli daging. Maklum, saat itu Pak Lik saya profesinya sebagai pengawas di perusahan tambang terkemuka, dan kalau dilihat dari gajinya sekira sangat cukup untuk tidak mengkonsumsi lauk tempe. Namun, gremengan itu hanya melihat dari konteks gaji dan tempenya, tidak melihat realitas kami sebagai laki-laki yang hidup sebagai laki-laki. Tempe menjadi pilihan sebab begitu mudahnya mengolah tempe menjadi lauk.

Tempe goreng, ya begitu mudah untuk membuatnya. Anda tak perlu kursus memasak pun bisa memasaknya. Modalnya cuma Anda harus punya tempe, wajan, sutil, dan minyak goreng maka tempe goreng siap dibuat. Jika menghendaki tempe goreng mak yuuuss, cukup tambahkan bawang putih, sedikit ketumbar, penyedap rasa dan garam maka tempe goring yang mak nyooss siap Anda dapatkan. Kalau ternyata Anda bosan dengan tempe goreng, cobalah memvariasinya. Sesekali kreasilah tempe itu menjadi botok tempe, kering tempe atau sayur letok khas Jawa Timuran. Mudahkan menikmati tempe? Nah itulah alasan kami mengapa setiap hari hanya bergelut dengan tempe. Bukan soal ngirit atau tidak punya duit melainkan karena menikmati tempe tidaklah begitu sulit.

Cerita soal tempe memang unik, tergantung di mana Anda menceritakan pengalamannya. Prestise tempe di setiap daerah tentu akan berbeda dengan daerah lain. Jika di perantuan tempe kaloh pamor dengan daging ayam, kambing, sapi atau dengan ikan laut lain halnya dengan tempe di rumah saya. Ya, saat masih duduk di bangku sekolah, setiap pagi ibu saya selalu menyajikan sarapan nasi liwet, sambel terasi dan tempe. Ibu saya begitu bangga menyajikan tempe, sampa-sampai Beliau berujar: “jamane masmu lhe, yen sarapan lawuhe namung sambel tok!” (zamannya kakamu, Nak, kalau sarapan lauknya hanya sambal saja). Ini berarti era kehidupan saya ada peningkatan taraf hidup, buktinya masa saya lauk sarapannya sudah tempe. Tentunya cerita ini hanya akan ditertawakan jika saya bisikkan di telingan teman saya atau menjadi cerita di depan kelas.

Sampai sekarang, ternyata tempe masih menjadi teman setia nasi putih saya. Setiap ke angkringan tempe menjadi lirikan pertama mata saya dan alhamudillah ternyata Yogyakarta memang surganya tempe. Kalau Anda pernah hidup di Yogyakarta dan pernah mampir ke angkringan tentunya tempe adalah elemen dagangan yang tidak pernah absen dari peredaran. Di sana Anda akan menemukan tempe berbalut tepung, tempe wudo, dan tempe bacem. Berbicara tempe bacem dan tahu bacemnya, kayaknya, menjadi ciri khas makanan, di samping gudeg, di Yogyakarta. Tempe ini rasanya manis, sebab pengolahannya direndam dahulu dengan gula merah (kalau tidak salah). Ya harganya perpotong berkisar lima ratus rupiah, lebih mahal di banding harga tempe goreng di kampung saya yang hanya Rp. 250, 00. Begitulah cerita tempe yang begitu melegenda dan Anda boleh menyebut saya anak tempe kok. Hehe

Aneh bin nylenehnya jika kata “tempe” itu dipakai untuk mensifati seseorang, masyarakat atau negara: kok bisa berarti negatif? Mengapa tempe selalu berkaitan dan menunjukkan sesuatu yang rendah? Apakah hanya gara-gara harga tempe terlalu murah? Ataukah karena tempe umumnya hanya beredar di kampung-kampung dan yang menikmati hanya orang-orang kampung yang biasanya alergi menkonsumsi ikan atau daging?

Entahlah, realitanya, tempe dalam percaturan kehidupan masyarakat yang rata-rata hanya bisa menkomsumsi tempe harus nelongso. Nelongso karena tidak dianggap sebagai makanan yang patut dibanggakan tetapi sebagai makanan “pelarian”. Beginilah nasib tempe di era globalisasi nan konsumerisme. Di dalam era konsumerisme, masyarakat hidup di dalam satu bentuk relasi subjek dan objek yang baru, yaitu konsumerisme. Di dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipAndang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer, dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya (Yasraf Amir Piliang, 2010: 148).

Status sosial, gaya konsumsi sehari-hari memang selalu menjadi petAnda keberadaan seseorang. Jika ada anggota DPR atau selebritis papan atas setiap harinya hanya bergelut dengan tempe dan menjadi headline di media massa tentu menjadi berita menggemparkan. Ada dua kemungkinan opini yang terbentuk: pertama, si anggota, selebritis tersebut memang lagi ngirit atau memang mempunyai alergi makan daging dan; kedua, memang lagi mencari sensasi supaya terbentuk common sense masyarakat jika ternyata masih ada kepedulian dari idola masyarakat tersebut terhadap nasib tempe.

Inilah nasib tempe saat bersamaan harus bersinggungan dengan gaya hidup konsumer. Stuart Ewen, seorang kritikus budaya Inggris, mengemukakan bahwa di dalam masyarakat konsumer-posmodern, ada tiga arena di mana gaya berperan: pertama, gaya sebagai wahana bagi pendefinisian diri (self)- gaya adalah cara menentukan posisi seseorang di dalam satu wacana: politis, seksual, status, dan kelas; gaya adalah satu wahana di mana seseorang dapat menilai-dan dinilai-oleh orang lain; kedua, gaya merupakan wahana pula untuk memahami masyarakat; ketiga, gaya sebagai satu elemen pembentuk kesadaran yang total dan dahsyat tentang dunia-sebagai informasi, sebagai pembentuk citra (Yasraf Amir Piliang, 2010: 182-183).

Terkadang saya mempunyai pikiran yang konyol soal “tempe” dan selera masyarakat dewasa ini. Bagaimana jika hasil kedelai fermentasi tersebut diruwat saja namanya? Ya setidaknya diganti dengan nama “kebarat-baratan” atau pokoknya jangan menggunakan nama “tempe”! entah itu cornet, roket, atau stick (tongkat?). Ya tujuaanya, setidaknya, laju konsumsi dan tingkat kepercayaan diri masyarakat kita meningkat. Namun, sebelum ruwatan itu dilakukan alangkah baiknya jika kita menelisik lebih jauh asal usul bahan tempe tersebut. Bukankah tempe berasal dari kedelai dan kedelai yang dibuat tempe tersebut hasil impor dari negeri nan jauh.

Sehingga tempe yang beredar itu bukan hasil kedelai dalam negeri atau hasil bercocok tanamnya petani desa lho Mas Bro! tempe itu kedelainya dari luar, bukankah ini hebat? Kalau disetarakan ya hampir sama dengan makanan yang keberadaannya hasil imporlah, semisal pizza, coca cola atau apapun jenisnya makanan yang sekarang blusukan dan digandrungi masyarakat kita. Hebatnya lagi, kedelai tersebut ternyata langka ketersediaannya dan untuk mendatangkannya lagi harus masuk ranah politik, menjadi komoditi politik terlebih dahulu. Bukankah ini sangat membagakan bagi tempe-tempe Indonesia? adakah makanan impor yang keberadaan bahan dasarnya di negeri ini terancam langka dan untuk mengadakannya harus melalui mufakat para wakil rakyat?

Nah, sekarang jangan lagi menundukan muka hanya karena lauk setiap harinya tempe. Toh, ternyata tempe saja bahannya masih bergantung dari luar negeri meski negeri ini selalu dikatakan dan suka bangga sebagai negara agraris. Kecuali jika kebanggaan sebagai negeri agraris tersebut hanya menjadi artefak dan masuk di museum atau buku-buku pelajaran semata. Saat itu Anda boleh sedih dan menundukkan muka karena malu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun