Menyambut tahun baru kini tidak hanya bisa dinikmati di pusat kota dengan menyalakan kembang api dan meniup terompet. Perayaan tahun baru di puncak gunung mulai digandrungi orang, tidak hanya pendaki, tetapi juga traveller, dan backpacker. Ini menjadi sensasi baru yang lebih menantang adrenalin. Sama seperti merayakan hari ulang tahun (HUT) Indonesia di puncak gunung, seperti yang telah menjadi ritual pecinta alam setiap tahun. Gunung di Indonesia memiliki eksotisme tersendiri. Sehingga, pendaki dari berbagai negara rela mengitari belahan bumi hanya untuk menaklukkan gunung di Indonesia. Sebut saja, Semeru, Rinjani, Leuser, Kerinci, Ijen, Bromo, dan masih banyak lagi. Sehingga, kegiatan mendaki telah menjadi salah satu tujuan Indonesia Travel. Saya termasuk anak baru dalam kegiatan daki-mendaki ini. Saya adalah anggota pecinta alam gagal karena tidak pernah diizinkan mendaki oleh orangtua. Tapi beberapa kali saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke tonggak bumi ini. Pendakian yang paling berkesan buat saya adalah ketika menginjakkan kaki ke tanah para dewa, alias Semeru, pada pertengahan tahun lalu. Perjalanan ini dirancang oleh seorang teman yang menjadi leader dalam perjalanan kami. Rombongan kami terdiri dari tiga orang. Di tengah jalan kami bertemu dua pendaki lain yang bergabung dengan tim trio ini, menaklukkan Mahameru. Semeru adalah cita-cita dalam hidup saya. Orang bilang, di balik kegagahan Mahameru, terdapat sebuah surga tempat dewi-dewi mandi. Yep, Ranu Kumbolo. [caption id="attachment_313348" align="aligncenter" width="576" caption="Ranu Kumbolo"][/caption] Ranu Kumbolo terletak di ketinggian 2.390 meter dari permukaan laut (mdpl), tepatnya di sebelah Timur Puncak Mahameru. Ranu Kumbolo menjadi ambisi saya untuk mendaki Semeru, selain puncak Mahameru. Sayangnya Tuhan masih menyembunyikan keindahan Ranu Kumbolo ketika saya sampai di hari pertama pendakian. Hari sudah malam saat saya dan rombongan sampai di danau seluas sembilan hektar tersebut. Kata seorang rekan saya, Timbul, matahari terbit di balik bukit Ranu Kumbolo adalah pemandangan yang luar biasa indah. Matahari terbit di balik lembah yang terbentuk oleh pertemuan dua bukit di sisi timur danau Ranu Kumbolo. Atraksi lain yang tidak kalah indah adalah bergulungnya kabut dari kedua sisi bukit ke tengah danau. Gulungan kabut membuat danau seperti tumpukan permen kapas putih yang siap dilahap. Pada hari pertama pendakian, saya gagal menyaksikan keajaiban yang Tuhan ciptakan di sebelah timur Ranu Kumbolo. Perjalanan empat setengah jam dari Ranupani membuat saya begitu kelelahan dan bangun kesiangan, hehehe. Tapi saya tidak melewatkan atraksi kabut yang turun dari kedua bukit dan merembes ke permukaan danau. Ah, andai saja saya bisa membawanya pulang. [caption id="attachment_313332" align="aligncenter" width="461" caption="Ranu Kumbolo"]
[/caption] Melihat matahari terbit dari balik bukit akhirnya kesampaian setelah saya menaklukkan Mahameru. Tidak ada kata-kata yang bisa melukiskan kekaguman saya pada pemandangan itu. Indah? SANGAT! Semua umat akan rela membayar mahal untuk melihat ini dengan mata kepala sendiri. [caption id="attachment_313333" align="aligncenter" width="576" caption="Ranu Kumbolo"]
[/caption] Ranu Kumbolo seperti memanggil saya untuk mencebur ke dalamnya. "Sini, sini, ayo mandi," rayunya. Tapi tentu saja saya tidak bisa melakukan itu. Ada aturan tidak tertulis yang menyatakan tidak boleh mandi di danau tersebut. Mengapa? Air danau itu adalah sumber kehidupan pendaki. Jadi tidak boleh dicemari. Puncak Berbeda dengan pendakian puncak di Gunung Gede atau sejenis, pendakian ke puncak Semeru cukup sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh jalurnya yang 100 persen pasir berbatu sehingga untuk mencapai puncak perlu usaha dan hati yang teguh. [caption id="attachment_313334" align="aligncenter" width="504" caption="Jalur Pasir"]
[/caption]
Perjalanan menuju Mahameru dimulai dari Arcopodo. Kami mendirikan tenda di sana, meskipun sebetulnya sudah ada larangan mendirikan tenda di lokasi tersebut. Perjalanan dimulai sekitar pukul dua dinihari. Sama seperti pendaki baru lainnya, saya hampir putus asa ketika mendaki trek berpasir. Satu langkah ke depan dibayar dua langkah ke belakang. Pasir yang licin membuat Mahameru seolah menolak digerayangi. Sama seperti ketika mencampur air dan minyak, Mahameru seolah ingin melempar saya kembali ke Arcopodo. "Pergi sana!" kata dia mengusir. Tapi dengan rendah hati leader saya berkata, "Sudah, gak usah buru-buru. Nanti juga sampai," kata dia. Sebagai orang yang kurang sabar, saya sulit menerima nasihat itu. Jarak dari Arcopodo menuju puncak Semeru mungkin tidak sepanjang Ranupani-Ranu Kumbolo atau Ranu Kumbolo-Kalimati. Tapi karena treknya yang unik, perjalanan menuju puncak Semeru memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan waktu diperlukan untuk dua jalur sebelumnya.
Niat melihat matahari terbit di puncak saya urungkan karena garis merah di ufuk timur sudah mulai terlihat. Sementara, saya masih berada di jalur pasir. Melihat ke bawah, garis antara jalur pasir dan jalur hijau sudah tidak tampak. Melihat ke atas, puncak masih jauh sekali. Saya akhirnya menyerahkan kepada takdir. "Sudah setengah jalan, harus sampai puncak. Tidak perlu lihat matahari terbit. Dari sini juga sudah bagus," ujar saya dalam hati. Melawan dingin yang menusuk, saya akhirnya kembali berjuang. Semangat saya semakin bertambah ketika seorang pendaki berteriak kepada temannya, "Wooy, gue udah di puncak. Ayo semangaaat!". Meskipun bukan buat saya, teriakan itu seperti oase di tengah padang pasir.
Sebetulnya tidak ada yang menarik di puncak 3.676 mdpl tersebut. Tidak ada alf*mart atau penjual jagung bakar. Tapi bagi saya, pendakian ke puncak memberikan banyak sekali pelajaran. Yang paling berharga adalah belajar bersabar. Sebagai orang yang minim sabar, saya menyadari kalau segala sesuatu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat, seperti menjentikkan jari. Waktu yang saya perlukan untuk mencapai puncak adalah lima jam. Berbeda sekali dengan perjalanan turun yang hanya perlu waktu kurang dari satu jam. [caption id="attachment_313337" align="aligncenter" width="554" caption="Puncak"]
[/caption] Persiapan Persiapan yang matang adalah salah satu syarat wajib pendakian. Fardhu ain hukumnya. Pendaki, terutama pemain baru, tidak boleh menganggap remeh barang-barang sepele seperti sarung tangan, kaus kaki, dan jaket tebal. Gunung adalah tempat yang sangat dingin. Sebagai seorang newbie dalam mendaki gunung, saya sama sekali awam dengan persiapan. Saya juga awam dengan penataan barang di dalam tas. Alhasil, saya ditertawakan ketika Timbul melihat isi tas saya. "Amburadul," kata dia. [caption id="attachment_313344" align="aligncenter" width="504" caption="Porter"]
[/caption] Tas saya seharusnya masih mampu membawa lebih banyak barang. Padahal saya merasa tas itu sudah sangat penuh. Setelah diajarkan dan melihat cara Timbul menyusun barang, barulah saya paham seni baru ini. Saya terkejut tas seimut itu masih cukup menampung sejumlah barang lain. Ketika mendaki Semeru, saya dengan santainya mendaki menggunakan sendal gunung. Padahal sebelumnya saya sudah mempersiapkan sepatu mendaki. Karena alasan cuaca yang selalu hujan, saya urung memakai sepatu ini (padahal pendakian kami di musim panas, lho). Akibatnya, sepulang dari Semeru saya menderita kram kaki mungkin sampai sepekan lamanya. [caption id="attachment_313345" align="aligncenter" width="498" caption="Pendaki di Tanjakan Cinta"]
[/caption] Ini merupakan pelajaran lain bagi saya. Meremehkan kegiatan pendakian adalah hal yang sangat fatal. Banyak yang menganggap mendaki adalah kegiatan yang mirip dengan jalan-jalan berkeliling kota atau berkunjung ke sebuah tempat
wisata. Mendaki kini banyak diterjemahkan sebagai 'berkunjung ke puncak gunung'. Terimakasih untuk film 5cm (tidak bermaksud menyungging siapapun, ya). Akibat terparah adalah pertemuan pendaki dengan malaikat Izrail. Oleh karena itu, persiapan baik fisik ataupun perlengkapan sangatlah penting. Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah menjaga lisan. Jangan pernah takabur ketika berada di alam. Alam memiliki jiwa dan sama seperti manusia, dia bisa tersinggung. Jadi, seseorang wajib menjaga perasaan alam dan seluruh penghuninya. Menjaga perasaan alam juga termasuk dengan tidak merusaknya. Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali gambar, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu. foto-foto oleh: @wihdanbae n c02
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya