Mohon tunggu...
Kafi Kurnia
Kafi Kurnia Mohon Tunggu... -

Kafi Kurnia memang tokoh kontroversial. Sejak tahun 1990, pemikirannya dikenal tajam, lugas, nakal, menggelitik tapi dengan pemahaman yang sangat sederhana. Tak heran apabila ia kemudian sering menampilkan pemikiran revolusioner. Tahun 1998 ia dengan “the curious mind” ala Kafi kemudian membuat kolom berjudul INTRIK di majalah mingguan GATRA. Sesuai dengan judulnya INTRIK adalah sentilan untuk memotivasi orang agar mau bertanya dan selalu penasaran. Ditahun yang sama, kolom INTRIK kemudian dijadikan acara talkshow radio di group TRIJAYA FM. Sama dengan kolom INTRIK – acara radio INTRIK juga menuai response yang serupa. Acara ini cepat populer, dan dipancarkan di lebih 14 kota diseluruh Indonesia. Kini KAFI, memiliki acara KAFI'S BREAK di jaringan PAS FM - Tak kurang dari 250.000 orang mendengarkan acara KAFI'S BREAK setiap minggu-nya. Tahun 2002-2003, artikel-artikel Kafi yang berthema “entrepener” dijadikan satu buku dan diterbitkan dengan judul 7 JURUS SUKSES. Seminar dari buku ini dilakukan di 14 kota. Dan buku ini terjual lebih dari 20.000.- copy. Tahun 2003-2004, menyusul suksesnya 7 JURUS SUKSES, diterbitkan artikel KAFI yang berthema-kan MARKETING, dan diberi judul ANTI MARKETING. Buku ini langsung menjadi best-seller selama hampir setahun. Terjual lebih dari 30.000 buku. Seminarnya digelar di 20 kota. Dan ditonton oleh lebih dari 10.000 orang. Posisi ini mengukuhkan status KAFI KURNIA, sebagai salah satu pemikir terbaik di INDONESIA. Malah seorang wartawan menjuluki-nya sebagai konsultan dengan sejuta umat ! Tahun 2007,diluncurkan buku baru dengan judul BIANG PENASARAN, untuk memperingat 2 dasa warsa KAFI berkarir. BIANG PENASARAN di-isi dengan pokok-pokok pemikiran KAFI yang selalu “curious”. Buku ini di puji sebagai buku edan yang maut. Kini sudah beredar hampir 20.000, dan menjadi virus penasaran yang terus menular kemana-mana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jatuh 7 Kali, Bangun 8 Kali

16 April 2017   17:17 Diperbarui: 17 April 2017   02:00 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Minggu lalu di Bandung, ketika saya mau masuk lift di hotel, tiba-tiba ada yang menepuk bahu saya. Ketika saya reflek menengok kebelakang, ternyata seorang teman  yang saya tidak pernah bertemu lebih dari 10 tahun. Seorang sahabat lama. Kami pun berpelukan dan saling menyapa akrab. Teman saya ini dulunya seorang pimpinan Bank swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Kini tubuhnya lebih kurus. Wajahnya menua. Namun terlihat segar dan bugar.

“Ini teman saya yang paling optimis” kata dia menyapa saya. Tanpa disengaja saya tertawa mengelak. Entah kenapa dia membaca sebuah keraguan dalam tawa saya. Lalu kami makan malam bersama. Dan kami saling bertukar cerita. Ia penasaran kenapa di tawa saya tadi ada kegalauan yang rada pesimis. Saya menuturkan bahwa barangkali saya lebih realistis sekarang. Sambil bercerita kepada beliau sejumlah rasa kuatir saya tentang kerapuhan yang sedang bergolak dalam masyarakat majemuk kita, dan bahaya kalau kerapuhan itu akhirnya menjadi nilai-nilai keropos bangsa ini.

Usai saya bercerita - ia bercerita tentang sesuatu yang membuat saya terkejut. Ia bercerita bahwa ia adalah “survivor” penyakit kanker. Menurutnya sebuah kalimat dari saya telah menyelamatkan hidupnya.  Lebih dari 10 tahun yang lalu ketika ia masih menjadi pejabat tinggi disebuah Bank, saya sempat memberikan “work-shop” pemasaran di perusahaan-nya. Entah kenapa teman saya ini mencatat sebuah pribahasa Jepang yang saya kutip diakhir “work-shop” itu. Kutipan itu adalah –"Nana korobi ya oki"atau terjemahan-nya “Jatuh tujuh kali ! Bangkit delapan kali”. Sebuah pribahasa yang sering saya gunakan untuk membangkitkan motivasi orang agar lebih optimis dalam kehidupan ini.

Saya sendiri diperkenalkan pribahasa ini sekitar pertengahan tahun 80’an oleh seorang eksekutif Jepang. Saat itu dengan serunya kami sedang membahas dominasi globalisasi Jepang mulai dari TV Games – mobil hingga kecap asin. Didalam diskusi seru itu – sang eksekutif bercerita tentang pribahasa termaksud, dimana esensi dari pribahasa itu melekat sangat dalam hampir disetiap aspek kehidupan masyarakat Jepang mulai dari kehidupan sehari-hari hingga seni dan juga bela diri. Intinya jangan pernah mau takut gagal. Jangan pernah mau menyerah. Selalu siap siaga. Kalau jatuh – bangun lagi. Dan seterusnya.

Sebuah konsep yang menyertai pribahasa tersebut adalah -gambaru (頑張る) yang secara sederhana dapat kita terjemahkan sebagai semangat pantang menyerah. Bahwa apapun kesulitan yang kita hadapi, sebuah amanah, dan sebuah tugas selayaknya harus diselesaikan dengan tuntas tanpa terkecuali. Pelajaran dari teman saya ini melekat dalam pada diri saya. Yang pada akhirnya secara perlahan dan revolusioner menempa diri saya menjadi lebih percaya diri. Lebih optimis dalam kehidupan ini.

Membantu saya dalam begitu banyak di pekerjaan dan hidup saya. Termasuk karir saya sebagai seorang motivator. Persepsi hidup saya jauh lebih relax dan melihat hidup sebagai sebuah tantangan dan bukan lagi sebagai sebuah lomba yang menentukan menang atau kalah. Hidup menjadi jauh lebih menarik – bahwa kita tidak selalu harus menang. Karena keberhasilan itu tidak selalu berarti sebuah kemenangan. Hidup menjadi lebih bernilai karenanya. Titik akhir bukan lagi menjadi sebuah garis finish. Titik akhir kini menjadi sebuah tempat kita bersujud untuk berterima kasih kepada Tuhan, bahwa kita diberi kesempatan untuk berkarya dan menyelesaikan karya itu dengan sebaik-baiknya.

Hellen Keller dalam kuliah legendaris-nya pada tanggal 22 Januari 1916 di Mabel Tainter Memorial – Wisconsin, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa semangat optimisme adalah sebuah modal yang membawa kita semua pada harapan dan percaya diri yang membuat kita berhasil. Kuliah Hellen Keller ini menjadi pegangan hidup saya bertahun-tahun.

Teman saya rupanya terkesan dengan semangat yang sama. Ia menuturkan bahwa pada saat ia menonton “work-shop” saya secara iseng ia mencatat pribahasa Jepang itu di sebuah buku oret-oretan-nya. Kemudian lupa sama sekali dengan pribahasa itu. Beberapa tahun kemudian ia terserang penyakit kanker. Ia berhenti dari pekerjaannya dan mencoba fokus untuk berobat. Sejumlah ketakutkan menghantui hidup dia. Mulai dari tidak bisa tidur, stress dan perubahan sikap menjadi pemarah.

Alkisah suatu malam ketika tidurnya terusik, ia bangun dan mencoba membaca diruang kerja-nya dirumah. Ketika sedang mencari bahan baca-an, ia menemukan buku oret-oretan lama itu. Entah itu sebuah keajaiban atau apa, ia pun tidak pernah pasti. Tanpa sengaja ia membaca pribahasa Jepang itu. Seluruh perjalanan hidupnya mulai dari kuliah, menikah, punya anak hingga sakit tiba-tiba terlintas satu babak demi satu babak di ingatan-nya. Ia merasakan benar betapa pribahasa itu menjadi sebuah tiang kehidupan dalam perjalanan karir dan hidupnya. Pribahasa itu melukiskan hidupnya secara pas selama puluhan tahun. Bahwa ketika ia optimis dan berjuang pantang menyerah. Hidup ini selalu memberikan ia sebuah ganjaran kebaikan yang positif. Ia pun melahirkan sebuah tekad baru. Sama dengan tantangan lainnya ia akan melawan penyakitnya. Ini cuma tantangan dalam bentuk lain. Ia bertekad melewati garis finish yang berikutnya. Dengan optimis dan penuh semangat ia maju dan berobat. Ia berhasil melawan sang penyakit.

Beberapa tahun terakhir ia mencoba mencari saya. Ia merasakan satu kalimat dari saya berhasil menyelamatkan hidup-nya. Barulah malam itu kami sempat bertemu dan ia bercerita tentang pengalaman-nya. Kami berdua akhirnya mensyukuri kejadian itu. Saya mengalami kejadian serupa itu sangat banyak. Bentuknya selalu berbeda. Itu sebabnya saya mencintai pekerjaan saya sebagai seorang inspirator dan motivator. Bukan karena “reward-nya secara finansial”, tetapi kesempatan saya untuk menebar bibit-bibit kebaikan. Karena saya selalu yakin kebaikan yang kita sebarkan akan tumbuh dan seringkali membawa kebaikan dan kebahagian bagi banyak orang.

Bersikap optimis dalam kehidupan ini, adalah langkah pertama yang terpenting dalam kehidupan ini. Sikap yang paling kritis. Tanpa optimisme hidup kita tak ubahnya seperti sebuah buku, dimana tiap halaman memperlihatkan keraguan dan ketakutan yang berbeda-beda. Buku ini bisa saja sangat tebal, karena keraguan dan ketakutan dihalaman sebelumnya akan berlipat ganda menjadi sebuah cerita yang diujung-nya berakhir sangat tragis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun