Prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta ditahun 2020 akan mencapai Rp 65 triliun, bilamana tidak ada solusi tuntas. Angka kerugian itu didapat dari hasil penelitian dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta. Hasil penelitian itu disampaikan Hajime Higuchi, perwakilan JICA Indonesia Office, dalam acara ”Workshop on Quick and Tangible Resolution to Mitigate Traffic Congestion in the Jabodetabek Area”, di Jakarta, Rabu - 15 Mei 2013. Khusus tahun 2012 saja kerugian diperkirakan mencapai Rp12,8 triliun.
Teman saya punya definisi khusus soal lalu lintas Jakarta. Jauh dekat = 30 menit. Lumayan Macet = 60 menit. Dan Sangat Macet > 90 menit. Tapi itu realita Jakarta saat ini. Kota yang berpenduduk 12-14 juta orang ini, konon berdasarkan data yang ada, di Jakarta saat ini terdapat 17,1 juta perjalanan setiap harinya dan dilayani oleh 5,7 juta unit kendaraan bermotor dengan pertumbuhan 9 persen per tahunnya. Ironisnya, 56 persen perjalanan dilayani oleh angkutan umum yang berjumlah 86.435 unit atau 1,8 persen. Sedangkan 98,2 persen sisanya menggunakan kendaraan pribadi yang melayani 44 persen perjalanan. Ini baru satu faktor biang keladi kemacetan.
Itu sebabnya Jakarta membuat proyek angkutan umum berkecepatan tinggi yang bebas hambatan. Proyek ini disebut Mass Rapid Transport alias MRT. Tujuan proyek MRT ini, bertujuan untuk mengurangi perjalanan dengan kendaraan pribadi. Andaikata ada angkutan umum yang bagus dan nyaman, diharapkan konsumen akan tidak menggunakan kendaran pribadi dan pindah ke angkutan umum. Itu asumsinya. Proyek MRT Jakarta ini baru memasuki tahap satu. Proyek ini menyerap biaya sekitar Rp 20 triliun yang merupakan pinjaman dari lembaga keuangan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dicicil selama sekitar 40 tahun. Total panjang jalur MRT Jakarta tahap satu nantinya sekitar 16 kilometer dengan jalur layang sekitar 10 kilometer, dan jalur bawah tanah sekitar 6 kilometer . Baru akan kelar tahun 2018. Dengan MRT tahap pertama ini, jangan dikira Jakarta akan bebas macet.
Membuat sebuah sistim angkutan umum yang berkecepatan tinggi yang bebas hambatan, bukanlah sesuatu hal yang mudah. Hongkong dengan proyek MTR-nya itu dimulai tahun 1975. Sedangkan Singapore memulainya tahun 1983, dan masih berjalan hingga kini. Dan MRT di Bangkok beroperasi mulai tahun 2004 dan masih dibangun hingga saat ini. Proyek MTR Hongkong memiliki jalur sepanjang 218.2 km dengan 152 statsiun. Bandingkan dengan proyek MRT Singapore yang punya jalur 153,2km dengan dilengkapi 106 statsiun. Bangkok kini memiliki jalur sepanjang 27 km dengan 18 statsiun selama 10 tahun.
Berdasarkan perhitungan ini proyek MRT Jakarta rata-rata setahun akan membangun 3 km jalur kereta, dan mirip dengan Bangkok. Dan Bangkok kini melayani kurang lebih diatas 250.000 penumpang sehari. Bandingkan dengan Singapura yang melayani hampir 3 juta konsumen perhari. Padahal populasi Hongkong berkisar 7,2 juta orang, Bangkok 6,5 juta orang dan Singapura 5,5 juta orang.
Melihat perbandingan ketiga kota tersebut, perhitungannya dengan 16km proyek MRT Jakarta, maka konsumen yang bisa dilayani tiap hari paling akan berjumlah dibawa 300.000 konsumen atau malah kurang dibawahnya. Artinya dengan proyek MRT itu Jakarta belum tentu akan terbebas macet. Dibutuhkan kombinasi solusi yang lebih lengkap dan terpadu.
Biang keladi kedua jauh lebih kompleks lagi. Yaitu tempat tinggal yang layak dan murah. Jakarta tidak memiliki perumahan murah yang disubsidi Pemda DKI Jakarta yang letaknya strategis berdekatan dengan lokasi bekerja di tengah kota. Salah seorang supir mengatakan bahwa ia terpaksa ngontrak rumah dengan biaya Rp. 750.000/bulan. Disebuah rumah yang sangat kecil, dan letaknya 40 menit dari tempatnya bekerja. Terpaksa ia harus punya motor, dan naik motor dari rumah ketempat kerja dan sebaliknya. Bukti nyata biang keladi ini bisa anda rasakan dan anda lihat setiap hari dijalan. Karena tidak bisa ngontrak rumah murah, maka mereka dipaksa semakin tinggal di pinggiran kota. Mobilisasi para karyawan kecil ini yang membuat Jakarta macet setiap hari. Jutaan motor memenuhi jalan-jalan Jakarta.
Riset Indonesia Effort for Environment menyebutkan pada 2013 pertumbuhan kendaraan mencapai 1.600-2.400 unit per hari. Dari jumlah tersebut, 16,5 persen merupakan pertambahan mobil sementara sisanya adalah motor, bus, dan truk. Jumlah kendaraan di Jabodetabek yang beroperasi di Jakarta mencapai 38,7 juta unit, terdiri dari 26,1 juta unit sepeda motor, 5,3 juta unit mobil, 1,3 juta unit bus, dan 6,1 juta unit truk.
Tanpa tambahan jalan, maka solusi yang harus kita kejar, adalah membangun rumah susun murah di lokasi-lokasi strategis di sentra-sentra perkantoran dan bisnis diseluruh Jakarta. Sehingga mobilisasi karyawan kecil ini menjadi semakin pendek, akan mengurangi pemakaian BBM, mengurangi kemacetan Jakarta dan menghemat waktu produktif. Masalahnya harga tanah di Jakarta terus naik dan menjadi sangat mahal. Bayangkan saja, sebuah ruko di Jakarta Selatan harganya bisa mencapai satu juta dolar. Seorang warga asing dari Australia mengatakan dengan sejuta dolar ia bisa membeli sebuah rumah yang layak di negaranya. Tetapi bilamana kita mau mengurai kemacetan di Jakarta, maka para karyawan kecil harus kita pindahkan tempat tinggalnya dari pinggiran kota yang sangat jauh, ke pemukiman yang lebih dekat dengan tempat bekerja-nya.
Biang keladi yang berikutnya, butuh bantuan Pemda DKI. Jakarta yang berpenduduk 14 juta orang terbagi atas 5 wilayah. Perijinan IMB di Jakarta sangat kompleks dan luar biasa ruwetnya. Pemda DKI Jakarta rasanya perlu menata ulang zona perijinan antara rumah tinggal dan tempat berusaha. Koridor-koridor jalan utama di 5 wilayah itu perlu ditata ulang. Jakarta membutuhkan zona usaha di masing-masing wilayah yang lebih luas. Tujuannya agar wilayah bisnis dan usaha tidak menumpuk ditengah kota sehingga menimbulkan kemacetan yang parah dititik-titik tertentu tiap harinya. Perluasan zona berusaha di masing masing 5 wilayah Jakarta akan menciptakan penyebaran orang dan sumber daya. Kemacetan Jakarta bisa diurai dengan lebih baik.
Kota-kota seperti Surabaya, Bandung, Semarang dan Djogdjakarta masih memiliki populasi dibawah 6 juta orang. Namun beberapa diantara mereka sudah merasa sumpek, dan mulai dihantui dengan kemacetan-kemacetan lalu-lintas. Barangkali mereka masih punya waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri, sebelum menjadi benang kusut seperti Jakarta. Macet itu bukan saja bikin stress. Tetapi biayanya secara ekonomis sangatlah mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H