Mohon tunggu...
nafs kafha
nafs kafha Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Kewajiban untuk Orang Miskin

16 Mei 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pingin dekat Tuhan ? Gampang saja, jadilah orang miskin. Dalam hadis qudsi, ditegaskan bahwa Tuhan bersama orang-orang miskin. Tuhan hadir di balik orang-orang yang kekurangan. Bahkan rasulullah saw, menyebut dirinya sebagai abul yatama. Saban malam merintih pada Tuhan agar dihidupkan sebagai orang miskin, dan selalu bersama orang-orang miskin. Dan memang, keseluruhan hidupnya dihabiskan bersama orang-orang miskin. Ia sendiri berasal dari kalangan yang tak punya. Lahir sebagai yatim. Belum genap 6 tahun, ia telah jadi yatim piatu. Nah, serasa istimewa orang-orang miskin itu di mata nabi agung itu. Sehingga keseluruhan ajaran yang dibawakannya, sangat menaruh perhatian pada yang kekurangan.

Bahkan kini saya berkeyakinan, ajaran Rukun Islam, selain syahadat, itu diperuntukkan bagi orang yang punya. Mulai ibadah shalat, zakat, puasa dan haji, sengaja “ada” untuk kalangan the have. Lihat saja, bagaimana surat al-ma’un, tegas-tegas menyebutkan sebagai pendusta agama, sekiranya orang-orang yang menjalankan ritual shalat itu melupakan kondisi orang miskin. Tidak memberi makan anak yatim. Jadi shalat berkorelasi dengan perhatian pada yang di bawah. Yang juga bisa diartikan bahwa kewajiban shalat diperuntukkan bagi kalangan yang kaya. Shalat yang fungsi batiniahnya untuk meneguhkan kesadaran ketuhanan, otomatis tak relevan dengan orang-orang yang di bawah garis kemakmuran, sebab tanpa ritus pun saban harinya bahkan tiap tarikan napasnya adalah penyebutan asma-Nya. Oleh karenanya, shalat tidak untuk orang miskin, melainkan kewajiban bagi orang kaya agar bisa mengingat-Nya dengan memperhatikan ekonomi keseharian orang miskin.

Terlebih zakat. Jelas gamblang tak berlaku atau bukan kewajiban untuk orang miskin. Justru kalangan yang tak punya itulah yang menjadi objek ibadah zakat. Dalam harta orang yang memiliki kelebihan, terdapat minimal 2,5 % jatah untuk orang miskin. Qur’an menegaskan dalam surat Adz-Dzariat [51]: 19: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” Dalam ayat lain, surat Al-Hasyr [59]: 7 dinyatakan: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Singkatnya, ibadah zakat bukan kewajiban orang miskin, melainkan sarana teknis Tuhan bagi orang kaya untuk menunjukkan kedermawanannya di hadapan Tuhan.

Kemudian puasa. Kerap kali didengungkan selama bulan ramadhan, agar orang-orang beriman menjalankan puasa (lihat Al-Baqarah [2]: 183). Nah, pertanyaannya, orang-orang beriman yang bagaimana ? Sekali lagi saya memahami, tentu saja orang beriman yang bukan dari kalangan miskin. Puasa, ibadah menunda atau menahan lapar dan haus selama kurang lebih 14 jam saban harinya selama satu bulan penuh di bulan ramadhan. Seakan hendak menegaskan agar orang-orang kaya ikut turut serta merasakan keseharian orang miskin. Keseharian orang-orang yang tak sanggup menikmati kelimpahan materi. Keseharian orang-orang yang makan minumnya bersahaja. So, ibadah puasa diperuntukkan untuk orang yang punya.

Haji ! Apalagi ibadah puncak ini. Haji yang merupakan puncak ibadah bagi umat Islam, sebagai seremonial umat sedunia “bermusyawarah” untuk membebaskan kalangan umat dari belenggu kemiskinan. Puncak ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah, sementara di hari yang sama, umat Islam yang mampu atau kaya yang tak menjalankan ibadah haji, ada kewajiban untuk menyelenggarakan korban. Korban yang berupa penyembelihan binatang ternak, kambing; sapi; maupun unta, yang dibagikan kepada tetangga kanan kirinya yang kekurangan. Out put dari haji adalah mabrur. Sepulang dari tanah suci Mekah, para tamu Tuhan itu diharapkan menjadi haji mabrur. Yaitu seorang haji yang sanggup membebaskan orang miskin dari belitan ekonomi. Mabrur yang dari kata barra, yang artinya baik hanya akan teruji dihadapan orang miskin. Anjuran tolong-menolong dalam kebajikan (birr), merupakan seruan untuk merekayasa kehidupan sosial umat manusia. Birr tidak bisa dilepaskan dengan masalah ekonomi. Kebajikan itu dihubungkan dengan kondisi ekonomi kalangan miskin.

Surat Ali ‘Imran [3]: 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Ayat tersebut pengakuan bahwa kepentingan ekonomilah yang menjadi parameter mabrur. Sehingga perhatian utama haji adalah terkait dengan kemiskinan. Juga Rasulullah bersabda, “Tidak beriman padaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya yang dekat dalam keadaan lapar.” Nah, oleh sebab itu, saya berkesimpulan bahwa membagi-bagikan harta itu bukan perbuatan kedermawanan, melainkan suatu kewajiban. Dan seluruh ritus ibadah (Rukun Islam) diarahkan pada kewajiban tersebut. Dus dengan demikian, ibadah itu untuk orang kaya, bukan kewajiban orang-orang miskin.

Hal demikian kian gamblang, dengan adanya ketentuan, jikalau tak sanggup menjalankan ibadah puasa, karena sedang hamil, sakit maupun faktor usia, maka bisa diganti dengan membayar fidyah. Yaitu memberi makan pada orang-orang miskin dengan kualitas makanan yang sepadan dengan yang ia makan. Jadi betapa istimewa orang-orang miskin, sebab ia jadi penanda keimanan seseorang. Belum beriman seseorang, sebelum menafkahkan hartanya. Tuhan berada di balik orang-orang miskin. Disadari  atau tidak oleh kalangan miskin, tak penting, sebab yang pasti Tuhan bersamanya. Nabi saw pun demikian, seutuh usianya membersamai orang-orang miskin. Kemiskinan menjadi jalan orang-orang kaya lebih bermakna di hadapan Tuhan. Menjadi sarana dekat kepada Tuhan. Sementara orang-orang yang miskin, dan kalangan yang sadar menempuh hidup sebagai orang miskin, dengan sendirinya sudah dekat  kepada Tuhan dan Rasulullah saw, dengan atau tanpa ibadah mahdhah (Rukun Islam).

Jadi pingin dekat Tuhan ? Jadilah orang miskin, bukan tanpa landasan. Kisah laku Nabi mulia kita itu pun menegaskan hal demikian, bahwa kemiskinan jadi pilihan atau selera hidupnya. Wallahu a’lam....

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun