“Uang. Sekali lagi uang! Mengapa uang dapat melapangkan dan menyempitkan kehidupan manusia? Bukankah dulu ia diciptakan sebagai alat penukar ? Mengapa ia berkembang menjadi simbol nilai-nilai benda dan jasa manusia, dan akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan yang berupa kemerdekaan ?” Pertanyaan-pertanyaan lirih seorang Muhammad Zuhri dalam “Lantai-lantai Kota” yang seolah hendak menunjukkan sekaligus menyadarkan kita tentang adanya takhayul baru. Acap kali kita merasa aneh bin geli kala melihat orang-orang yang memuja pohon, membakar dupa dan meninggalkan seonggok makanan lengkap di depannya. Kita merasa heran dengan perilaku orang-orang tua yang mengadakan ruwatan, percaya dengan adanya hari baik, hari sial, sedekah bumi, dan sebagainya. Namun pada saat yang sama, kita menganggap biasa dengan perilaku orang-orang yang memuja uang. Kita anggap wajar saja dengan kondisi diri yang merasa tak hidup kalau sedang tak memegang uang. Kini kita anggap biasa dengan perilaku masyarakat yang gila seluler, gandrung gadget. Wajar saja dengan perilaku kebanyakan yang merasa belum eksis kalau tak memiliki barang-barang itu.
Nah, dimananya yang berbeda ? Sama-sama mengagungkan benda, sama-sama mempercayai ada sesuatu di baliknya. Sesuatu di balik itu, bisa berupa kesenangan, kebahagiaan, sumber kekuatan, kemudahan berkomunikasi atau malah sebatas citra atau image. Kiranya yang terakhir itu yang dominan di era kapitalis ini. Kolonialis yag kini berkembang adalah kolonialis pencitraan. Hampir sekarang orang tak peduli dengan kualitas diri maupun barang. Orang tak perlu pintar untuk meraih kemakmuran, sebab yang penting adalah koneksi. Pun demikian kita gampang terbuai untuk memiliki barang, yang sebenarnya belum saatnya kita butuhkan, lantaran brand yang mentereng.
Padahal brand, image atau citra sebenarnya tak melekat pada barang atau diri seseorang. Buktinya suatu saat bisa berubah atau diganti dengan image yang berbeda. Benda-benda yang sesudah sampai di bursa pasar, dipasang bandrol harga, kemudian menjadi barang yang berharga. Padahal sebelumnya hanya benda biasa yang belum bernilai tambah. Lantaran merk yang dilekatkan pada benda tersebut, selanjutnya menjadi barang bernilai jual. Yang demikian juga terjadi pada diri seseorang. Berharga dan tak berharganya nilai seseorang lantaran citra yang melekat. Citra yang yang terbangun oleh olahan media, oleh iklan dan pemberitaan yang tersiar. Dan pencitraan itu, sekali lagi, jelas bukan sesungguhnya ia. Sebab kesungguhan itu tak berubah, tak tergantung pada situasi kondisi. Juga tak bergantung pada nilai komoditas pasar.
Kalau benda bernilai lantaran citra yang dilekatkan padanya, apakah mesti demikian dengan manusia? Para sesepuh, petuah-petuah leluhur, dan bahkan kitab suci agama, tidak mengandaikan lekatan yang datang dari eksternal. “Ajining rogo ono ing busono, Ajining diri ono ing lati”, kata para tetua yang menandaskan terkait dua eksistensi yang berbeda. Eksistensi fisik atau jasmani dan eksistensi ruhani. Eksistensi fisik, jasmani atau raga berupa bungkusan yang melekat padanya. Bungkusan atau busono itu, bisa berupa pengetahuan, filsafat yang digeluti, adat, aturan-aturan para orangtua, pemikiran yang beredar di masyarakat, atau bisa juga berupa glamour baju-baju, kendaraan dan rumah mewah yang ditinggalinya. Yang kesemuanya itu adalah hal-hal yang berasal dari luar atau dampak eksternal. Sementara eksistensi diri atau ruhani itu ada pada lisan, atau lati. Yang artinya berasal dari dalam. Apa yang keluar dari lisan tak bisa diubah. Apa saja yang sudah terucap akan terekam sebagai eksistensi seseorang, akan terus diingat oleh orang lain, dan tak bisa ditarik kembali. Itulah ajining diri ono ing lati, nilai diri ada pada lisannya.
Dalam kitab suci juga disebutkan tanda iman atau harga diri seseorang adalah yang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada guna, tertera dalam Al-Mu’minun: 3. Dalam sabdanya, Muhammad SAW pun menegaskan, “Barangsiapa yang sebenar-benarnya beriman pada Allah dan Hari Akhir, ialah yang sebaiknya berbicara benar atau lebih baik diam”. Yang demikian itu menegaskan betapa dahsyatnya kata-kata yang terucap. Kata yang telah diucapkan, tak terhapuskan. Dan itu tanda harga diri seseorang yang melekat dari dalam, bukan rekaan atau pencitraan.
Nah, kembali ke masalah pelekatan. Benda menjadi barang, karena ada “nilai jual” yang dilekatkan padanya, demi kepentingan pasar, kepentingan komoditas. Akankah manusia juga demikian ? Tentu saja tidak mesti demikian, sebagaimana yang telah kita ulik sedikit di atas. Untuk bernilai jual tinggi di tengah-tengah masyarakat, tidak mesti menjatuhkan diri setara dengan barang-barang komoditas. Untuk mendapatkan predikat gagah dan cantik, tidak mesti dengan menurunkan martabat diri sepadan dengan merk HP, mobil mewah, uang miliaran, bulu alis lentik, dan segenap polesan dan kosmetik lainnya. Sebab segala glamour tersebut akan hilang, tak selamanya melekat dalam diri. Barang-barang tersebut tidak abadi melekat menjadi identitas diri. Harga diri yang sesungguhnya, yang tak akan hilang, abadi selamanya, bahkan hingga kita berkalang tanah sekalipun, akan terus diingat oleh orang lain, yang tak lain adalah kata-kata yang terucap.
Pendek kata, kerap kita mengutuk takhayul lama. Kita kutuk orang-orang tua yang masih menjaga tradisi, namun abai dengan takhayul gaya baru. Kita abai dengan penjajahan atau sihir negara maju yang menyuntikkan pemahaman bahwa hanya produk-produk mereka saja yang bernilai tinggi. Hanya dengan kosmetik produk negara maju saja, kita akan berharga diri tinggi. Hanya dengan mendermakan diri menjadi konsumen loyal atas produk barang yang serba asing, kita akan bermartabat. Itulah takhayul baru. Keyakinan akan sesuatu yang tampak maupun tak tampak, yang berasal dari luar diri kita. Keyakinan akan harga diri yang disematkan pada polesan eksternal. Dan kesemuanya palsu alias bukan yang sesungguhnya. So....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H