Tulisan ini berawal dari sebuah tesis bahwa beberapa akhir bulan ini, bahwa pelajar dari beberapa tingkatan mengalami penurunan nilai-nilai karakternya. Karena pemerintah telah menerapkan kebijakan belajar dirumah. Nah, disisi lain anti-tesis yang terjadi adalah kurang efektifnya belajar dirumah. Seperti yang kita ketahui, proses belajar pada umumnya memerlukan tatap muka dan tatap tindak sebagai cara mentransformasi nilai-nilai keilmuan dan nilai-nilai karakter.
Saya terdiam ketika mendengar sebuah berita ada orang tua yang mencari hutang untuk membeli kuota internet demi anaknya melanjutkan proses pendidikan. Pikiran saya terbuka dengan apa yang terjadi pada masa-masa sulit ketika sekolah negeri masih memungut uang bulanan. Apa bedanya dengan masa sekarang ?, hanya orang-orang yang strata sosial kelas atas yang bisa mengikuti aktifitas belajar.
Orang tua akan terlihat bahagia ketika melihat anak-anaknya bersekolah dengan senyum polosnya, dan dibalik dari itu ? para orang tua mengeluarkan biaya yang besar-besaran. Kondisi saat ini sedikit mundur dari apa yang telah dicapai dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, pola belajar yang terjadi sangat tidak sehat bagi pelajar, terlalu banyak tugas yang didapat. hingga pada realitanya mau tak mau orang tua harus turun tangan sehingga menjadi suatu kebiasaan.
Kebiasaan inilah yang menjadi fokus tulisan saya kali ini. Pierre Bourdieu seorang filsuf berkebangsaan prancis memperkenalkan konsep-konsep kunci yang dapat menjelaskan bagaimana praktek sosial dapat dimungkinkan, yaitu habitus.
Habitus merupakan sebuah kata dalam bahasa Latin berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa menunjuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Sebenarnya habitus ini bukanlah yang baru ya, ini udah konsep lama. Kalau kita terlusuri bersama aristoteles juga sempat bahas membahas habitus di era tradisi filsuf barat. Cuman konsepsi Bourdieu lebih dominan dengan substansi atau jati diri manusia itu sendiri.
Salah satu pemikiran penting dari Bourdieu adalah bagaimana struktur kekuasaan berfungsi melahirkan kelas sosial sekaligus menjalankan dominasi simbolis. Hasil dari pemikiran Bourdieu terbukti dengan adanya strata sosial bahwa pelajar yang memiliki strata sosial yang tinggi selalu menjadi yang unggul, karena memiliki semua yang dibutuhkan.
Eko prasetyo dalam bukunya "orang miskin dilarang sekolah" juga berpendapat yang sama. Prestasi hanya akan didapat bagi yang memiliki segala aspek. Bourdieu menyebutkan bahwa pendidikan dalam berbagai bentuknya tetaplah sebuah bentuk penindasan. Penindasan yang tidak berakar karena keadilan tidak hadir ditengah pendidikan.
Bourdieu bahkan dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk tindakan pendidikan merupakan kekerasan simbolik sejauh adanya pemaksaan kultural. Orang tua dipaksa untuk membeli buku-buku yang harus dimiliki oleh peserta didik. Disisi lain harus mengerjakan tugas sekolah yang terkadang juga sedikit banyak mengeluarkan uang. Pemaksaan kultural ini tentunya terjadi dibalik sebuah simbol.
Kuasa simbolik ini bekerja melalui tatanan gneoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat dengan dunia sosial untuk menyembunyikan suatu relasi kuasa yang membentuk persepsi tersebut. Pemaknaan ini, yang menyembunyikan suatu relasi kuasa di baliknya, disusun oleh suatu sistem simbol yang memiliki kegunaan tidak hanya sebagai sarana komunikasi, namun juga sebagai sarana dominasi dikarenakan sistem simbol tersebut dideterminasi oleh relasi kuasa yang tersembunyi di baliknya.
Inilah yang terjadi ketika Kesalah kenalan tersebut merupakan hal yang "dipaksakan" secara halus untuk memahami suatu realitas sehingga ada pihak tertentu yang lebih diuntungkan sementara ada pihak lain yang dirugikan.
Nah, kondisi pendidikan seperti inilah yang terjadi dalam pandangan Bourdieu. Bourdieu telah berhasil menggambarkan permasalahan yang terjadi dalam sistem pendidikan dalam bentuk teori sosialnya. Pendidikan juga tidak serta merta hanya sekadar dipahami sebagai sarana produksi dan reproduksi semata. Tetapi pendidikan juga harus bisa menjadi alat pembebasan. Lucunya, para pelajar tetap tidak bebas dan masih didikte.