Agaknya, artikel Hyun H. Son (2013) yang dipubikasikan dalam Asian Development Review, dapat menjadi sebab ketiga kecilnya besaran penurunan kemiskinan Indonesia. Hyun H. Son telah mengingatkan tentang kemiskinan tetapi dilihat dari sudut pandang tinggi rendahnya kesempatan dalam mengakses edukasi dan infrastruktur yang disediakan pemerintah.
Dalam artikelnya tentang kesempatan (opportunity) bagi anak-anak untuk dapat mengakses pendidikan dan infrastruktur, atau dikenal dengan istilah Human Opportunity Index (HOI), didapat hasil bahwa rata-rata anak di Indonesia memiliki kesempatan sampai 93,42% untuk dapat mengakses primary education. Sayangnya, persentase tersebut berkurang hingga 77,57% saat hendak mengkases secondary education.
Lebih parahnya lagi, akses infrastruktur dalam bentuk air bersih dan sanitasi secara berurutan memiliki persentase sebesar 21,08% dan 49,33%. Artinya, secara rata-rata anak indonesia hanya memiliki kesempatan sebesar 21,08% dan 49,33% untuk dapat mengakses air bersih dan sanitasi yang layak
 Dengan adanya investasi yang diarahkan pada sektor pendidikan dan infrastruktur, maka diharapkan akan terjadi peningkatan kesempatan anak-anak dalam hal akses pendidikan dan infrastruktur yang layak, sehingga kemiskinan pun berkurang.
Tantangan peningkatan investasi
Saat ini Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai lower-middle income countries dengan pendapatan per kapita sebesar $3,840[1]. Untuk menjadi negara yang tergolong high-income countries agar tercipta pembangunan ekonomi yang besar dan secara signifikan menurunkan kemiskinan, dibutuhkan pendapatan per kapita sebesar $12,056.
Berdasarkan data tersebut, Indonesia akan tergolong high-income countries di tahun 2034, atau 16 tahun lagi terhitung sejak tahun 2018 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun. Tantangan untuk mencapai pertumbuhan 8% terdapat pada nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio)[2] Indonesia yang saat ini berada di level 6,3.
Mengutip penjelasan Chatib Basri, nilai tersebut berarti pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan rasio investasi terhadap pendapatan nasional sebesar 6,3%, yang artinya jika perekonomian Indonesia ingin tumbuh 8% per tahun, berarti Indonesia harus memiliki rasio investasi terhadap pendapatan nasional sebesar 50,4% sedangkan per tahun 2018, rasio investasi terhadap pendapatan nasional Indonesia hanya sebesar 4,18% saja[3]. Hal inilah yang menjadi tantangan Indonesia jika hendak melangkah menuju high-income countries dan menurunkan secara signifikan level kemiskinan.Â
 Tentunya pemerintah sudah mengantisipasi kesulitan ini. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan bank Indonesia yang sudah menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75% per 18 Juli 2019 dari sebelumnya 6,00% pada Juni 2019. Dampaknya, dapat di prediksi tentunya akan meningkatkan investasi di sektor riil karena biaya pinjaman yang lebih murah, di sisi lain suku bunga yang rendah akan memicu capital outflow.
Jika capital outflow dalam bentuk mata uang asing, maka bersiap-siap nilai rupiah akan melemah, namun akan diharapkan akan sedikit memperkuat current account Indonesia melalui sektor ekspor.
Jadi, kembali lagi apakah kebijakan penurunan suku bunga mampu meningkatkan kapasitas ekonomi Indonesia dan menurunkan level kemiskinan merupakan isu-isu krusial dan tak dapat dihindari.
Kepemimpinan periode kedua Presiden Jokowi dengan pembangunan berbasis investasi ini akan sangat dinanti dampaknya oleh masyarakat. Meski investasi memang mampu mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan, namun perlu suatu lompatan besar agar investasi yang masuk dapat secara signifikan menurunkan kemiskinan Indonesia dan menjadikan Indonesia selangkah lebih maju.