Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik

5 Agustus 2023   20:08 Diperbarui: 6 Agustus 2023   19:07 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Nama Stasiun Barat atau orang di kampung saya biasa menyebutnya sebagai Stasiun Mbarat,  stasiun kecil kelas 3 yang terletak diantara Stasiun Besar Madiun dan Stasiun Geneng (Ngawi), sepertinya tidak begitu populer bagi masyarakat Nusantara, terkecuali mungkin bagi para pelancong dan penikmat transportasi kereta api yang sering lalu lalang di seputaran DAOP 7 Madiun, Jawa Timur.

Tapi siapa sangka, stasiun kereta api bersejarah yang dibangun Belanda tepat di tengah-tengah kampung halaman tempat saya lahir dan dibesarkan tersebut, ternyata mempunyai peran sejarah cukup penting dalam konstelasi pertempuran perang Pasifik/Perang Asia Pasifik atau masyarakat Jepang lebih mengenalnya sebagai Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) tahun 1937-1945 yang berakhir dengan luluh lantaknya bumi Hiroshima dan Nagasaki.

Stasiun Barat  | Widodo Groho Triatmojo
Stasiun Barat  | Widodo Groho Triatmojo

Penasaran dengan keterlibatan stasiun kecil yang pernah menjadi tempat bermain saya waktu bocah ini dalam perang Pasifik yang akhirnya menyeret Amerika ke dalam Perang Dunia ke-2, setelah Pearl Harbour dan koloni sekutu di sekitarnya dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941? Yuk duduk manis dan simak artikelnya sampai habis ya!

Nama Barat atau Mbarat yang menempel pada nama Stasiun ini sampai sekarang sebenarnya masih menjadi misteri. Karena kosakata Barat ini tidak terafiliasi kepada nama dan istilah apapun yang berlaku di sekitar stasiun, kecuali kosakata Barat dalam beberapa tradisi lesan di kampung kami yang berarti angin.

Baca Juga :  "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun

Memang, sejak tahun 2000 nama Barat juga diabadikan menjadi nama kecamatan baru di wilayah kami sebagai hasil pemekaran kecamatan sebelumnya. Tapi tetap saja belum ada literatur rujukan yang bisa menjelaskan secara definitif sejarah asal-usul nama Barat ini. It's Ok, kita kembali ke Stasiun Barat aja ya!

Gudang Stasiun Barat (2012) | @kaekaha
Gudang Stasiun Barat (2012) | @kaekaha

Stasiun Barat Tempo Dulu

Stasiun Barat diyakini dibangun oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api pemerintahan Hindia Belanda, sepaket dengan pembangunan jalur rel kereta api yang menghubungkan Madiun-Paron (sekarang Stasiun Ngawi)-Sragen-Solo Balapan sejauh sekitar 97 km yang dibangun pada 1883-1884 dan direnovasi pada era 1930-an karena semakin padatnya aktifitas.

Kepadatan aktifitas dimaksud tidak lepas dari semakin sibuknya operasional pengangkutan bahan baku tebu dan hasil produksi gula dari PG Poerwodadie, pabrik gula yang dibangun tahun 1832 berjarak sekitar 5 km dari Stasiun Barat milik  Nederlandsche Handel Maatschapij (NHM).

Tidak hanya itu, pada dekade yang sama atau tepatnya pada tahun 1939, pemerintahan Hindia Belanda juga membangun lapangan udara khusus militer (militaire Luchvaart) baru bernama Lapangan Udara Maospati yang sekarang lebih dikenal sebagai Lanud Iswahyudi berjarak sekitar 3 km kearah Selatan setasiun Barat.

Stasiun Barat, Magetan era Hindia Belanda. Foto: KITLV
Stasiun Barat, Magetan era Hindia Belanda. Foto: KITLV
Keterlibatan dalam Perang Asia Timur

Sudah menjadi rahasia umum, setiap infrastruktur yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda, umumnya  untuk dua kepentingan, yaitu untuk kepentingan militer atau ekonomi, khususnya jalur distribusi hasil dari alam yang dikeruknya, baik dari pertambangan, perkebunan, pertanian dan lain-lainnya.

Begitu juga dengan pendirian stasiun Barat yang sudah pasti dirancang jauh-jauh hari juga, setidaknya untuk mendukung operasional dua aset penting pemerintahan penjajah Hindia Belanda di sekitarnya, yaitu Pabrik Gula Poerwodadie, PG Rejosari dan Lanud Iswahyudi.

Seperti kita ketahui, karesidenan Madiun merupakan wilayah di ujung barat Jawa Timur yang tanahnya cukup subur dan cocok untuk perkebunan tebu. Karenanya, tidak heran jika kemudian kawasan ini dikenal mempunyai pabrik gula peninggalan Belanda terbanyak di Indonesia.

Uniknya, dari 8 pabrik gula yang terkonsentrasi di Madiun, Magetan dan Ngawi ini, separuh diantaranya berlokasi dekat dengan stasiun kereta api, bahkan ada juga yang hampir bersebelahan, salah satunya ya Stasiun Barat dengan PG Poerwodadie.

Lanud Iswahyudi merupakan simpul yang mempertemukan Stasiun Barat dengan aktifitas perang Asia Timur Raya, antara pasukan sekutu dengan Jepang, khususnya di seputaran tahun 1941, setelah Lanud Iswahyudi dijadikan pangkalan militer sekaligus basis tentara sekutu di Pulau Jawa.

Gerbong Angkutan Barang di Stasiun Barat (2012) | @kaekaha
Gerbong Angkutan Barang di Stasiun Barat (2012) | @kaekaha

Posisi dan peran Stasiun Barat cukup strategis dalam perang Asia Pasifik, khususnya bagi pasukan dan alutsista perang milik sekutu yang bermarkas di Lanud Iswahyudi, karena satu-satunya jalur suplai bahan bakar (dan bisa jadi kebutuhan lainnya juga) menuju ke pangkalan militer ini hanya bisa melalui persimpangan jalur kereta di stasiun Barat dan sudah pasti kontrol operasionalnya juga ada di dalam Stasiun Barat.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi seandainya saat itu ada sabotase di titik ini!?

Jalur rel khusus kereta tangki bahan bakar dari Stasiun Barat ke Lanud Iswahyudi yang melewati pekarangan warga, tepat di tengah-tengah kampung kami ini, pasca kemerdekaan tetap dipakai oleh perusahaan minyak negara untuk menyuplai bahan bakar bagi alutsista tempur di Lanud Iswahyudi sampai awal 90-an dan perannya digantikan oleh armada truk tangki, tapi rel kereta bersejarah ini masih ada sampai saat ini.

Stasiun Barat aka Stasiun Magetan (2021) | Widodo Groho Triatmojo
Stasiun Barat aka Stasiun Magetan (2021) | Widodo Groho Triatmojo

Stasiun Barat Sekarang

Dulu, di akhir era 90-an, pernah santer terdengar isu di kampung kami kalau fungsi operasional Stasiun Besar Madiun Kota akan dipindah ke Stasiun Barat, karena lahan Stasiun Madiun akan di manfaatkan semaksimal mungkin untuk pengembangan PT. INKA, tapi sampai sekarang ternyata isu itu tidak pernah terbukti. Mungkin memang sekedar kabar dari burung kali ya!?

Tapi, karena perkembangan kebutuhan jalur kereta api, akhirnya benar-benar memaksa Stasiun Barat berubah total. Tahun 2015, bangunan lama stasiun, termasuk bangunan utama yang ikonik, gudang dan bangunan-bangunan pendukung lainnya dirobohkan tanpa sisa, karena terkena proyek penambahan jalur rel kereta.

Sedangkan bangunan baru yang menggantikan fungsi bangunan lama dibangun dengan gaya artistik modern, jauh lebih besar dan megah. Sayangnya, sama sekali tidak meninggalkan jejak arsitektur bangunan lama yang tentu saja memberi kenangan mendalam pada masyarakat sekitar, termasuk saya dan juga teman-teman masa kecil.

Baca Juga : Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya

Sampai-sampai, kami para diaspora merasa kesulitan untuk mengenali perwujudannya yang sekarang lho!Jujur, sampai sekarang sebenarnya saya masih bingung mau sedih atau bahagia, melihat tampilan destinasi bersejarah Stasiun Barat saat ini.

Sekarang, Stasiun Barat yang sejak Pebruari 2019 resmi berganti nama menjadi Stasiun Magetan memang terlihat lebih berkelas, luas dan representatif untuk keperluan layanan transportasi rakyat. Dengan 4 jalur rel kereta, dimana jalur 2 untuk jalur lurus ke barat dan ke timur, jalur 3 dan 4 untuk jalur persilangan atau langsir dan jalur 1 untuk parkir, langsir dan juga menaikkan dan menurunkan penumpang,  sekarang bisa melayani penumpang dari berbagai kelas layanan, tidak hanya angkutan barang saja seperti di jaman Belanda atau sekedar kelas ekonomi jarak pendek seperti pada era sebelumnya.

Khusus pada jalur 1, dulunya jalur ini terkoneksi dengan jalur lori (decauvile) Pabrik Gula Poerwodadie sepanjang hampir 5 km untuk mengangkut tebu dan gula, tapi jalur koneksi ini tidak digunakan lagi sejak akhir 80-an, karena digantikan oleh armada truk.

Semoga Bermanfaat.

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Commuter Line Community Kompasiana | CLICKompasiana
Commuter Line Community Kompasiana | CLICKompasiana

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun