Semarak Merdeka Belajar
Layaknya prinsip kaizen yang menginspirasi dunia, konsep pendidikan holistik merdeka belajar yang diluncurkan Kemendikbudristek secara bertahap sejak 2020, hadir layaknya obat dan vitamin bagi dunia pendidikan nasional yang sedang kurang fit, salah satunya akibat hantaman pandemi covid 19 yang berhasil  memporak-porandakan berbagai tatanan kehidupan masyarakat dunia, termasuk diantaranya dunia kependidikan.Â
Gebrakan Kemendikbudristek yang terus berusaha menghadirkan formula "obat dan vitamin" terbaik untuk menyempurnakan grand design manajemen pendidikan nasional Indonesia secara bertahap di bawah payung besar konsep Merdeka Belajar ini, secara kontinyu dan bertahap juga terus menghadirkan optimisme dan juga harapan bagi pendidikan yang bermutu dan berkualitas di seluruh pelosok Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya sekolah di berbagai pelosok nusantara yang menerapkan kurikulum Merdeka.
Salah satu yang unik dan fenomenal dari kurikulum merdeka adalah lahirnya paket-paket merdeka belajar dengan konsep "episode" layaknya serial fragmentasi dalam senematografi dan tentunya tahapan-tahapan rilisnya yang  didesain layaknya "proses terapi holistik" yang sampai saat ini, setidaknya telah mencapai episode ke-24. Secara konseptual, semuanya jelas bukan sebuah kebetulan!Â
Tapi memang  dimaksudkan agar  paket-paket episode merdeka belajar yang berfungsi layaknya modul rujukan bagi semua stakeholder kependidikan, termasuk kita para orang tua dan juga anak-anak kita, para pelajar dari level PAUD sampai mahasiswa ini lebih mudah dipahami dan diaplikasikan  sesuai karakter masing-masing.
Salah satu episode merdeka belajar yang menyita perhatian adalah episode kurikulum merdeka yang secara prinsip menghadirkan proses pembelajaran inklusif yang jauh lebih relevan, jauh lebih merdeka dan jauh lebih menyenangkan, dimana siswa diberi kebebasan dan keleluasaan untuk belajar materi-materi esensial sesuai dengan karakter, minat, kebutuhan dan potensinya masing-masing. Tapi maaf, jangan salah sangka dulu ya! Tentunya merdeka belajar tidak hanya tentang memberikan kebebasan kepada siswa semata, tapi juga tentang tanggung jawab, kemandirian dan juga kesempatan untuk berperan aktif dalam berbagai proses pembelajaran yang dilakukan.Â
Konsekuensi dari model pembelajaran "baru" yang lebih spesifik berpusat kepada siswa ala kurikulum merdeka dengan spesifikasi seperti diatas adalah model "pembelajaran berdiferensiasi" yang berorientasi pada kebutuhan belajar siswa secara individu, salah satu solusi spesifik yang diyakini penting untuk menajamkan potensi masing-masing siswa.
Aplikasinya! Di level pendidikan SMA, sekarang tidak ada lagi  penjurusan seperti era 80-an sampai 90-an yang sejak kelas 2 dijuruskan menjadi A1, A2 dan A3 atau era setelahnya yang dirubah menjadi jurusan IPA dan IPS saat naik ke kelas 3. Sebagai gantinya  siswa SMA sekarang bisa bebas memilih "mata pelajaran pilihan" sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan, walaupun tetap wajib mengikuti semua mata pelajaran umum.Â
Pembelajaran Berdiferensiasi dan Tragedi  Buta Warna
Di Indonesia label "tidak buta warna" menjadi persyaratan wajib dan mutlak di semua jurusan pendidikan tinggi berbasis ilmu eksakta (teknik, kedokteran dll) dan juga bidang pekerjaan yang linier dengannya, termasuk program kedinasan milik pemerintah, termasuk TNI-Polri, tapi anehnya sampai saat ini, tidak ada mekanisme atau prosedur aturan baku dan resmi untuk mengedukasi masyarakat agar sejak dini prepare, memahami pentingnya tes buta warna sejak dini, apalagi melakukan tes buta warna sejak dini kepada anak-anaknya.
Akibatnya!? Fenomena puncak gunung es para penyandang buta warna yang tersesat perjalanan hidupnya karena salah memilih cita-cita, akibat terlambat mengetahui dan menyadari sebagai penyandang buta warna yang pastinya include dengan berbagai "keterbatasan" yang menyertai, akan semakin besar dan banyak!Â
Idealnya sih, tes buta warna dilakukan jauh-jauh hari sebelum memilih sekolah/kampus idaman. Sejak dini, sejak anak-anak bisa mengenal angka, huruf dan tentunya warna yang menjadi elemen alat tes buta warna yang biasa disebut sebagai Ishihara Plate atau piring Ishihara, tentu bagus lagi!
Â
Tes buta warna sangat penting untuk membantu orang tua, anak-anak, sekolah dan tentunya juga pemerintah untuk memetakan blueprint potensi anak-anak (Indonesia), sekaligus merencanakan dan mengarahkan roadmap paling efektif dan efisien mereka untuk menuju cita-citanya masing-masing
Singkatnya, praktik tes buta warna sejak dini ini bisa menyelaraskan antara potensi diri, minat, kemampuan dan kebutuhan, bahkan juga cita-cita! Tentu fakta ini selaras dengan prinsip model pembelajaran berdiferensiasi!
Begini ilustrasinya!
Si-Budi, sejak kecil ingin sekali menjadi teknisi pesawat terbang, karena kekagumannya kepada sang ayah, Â sosok teknisi pesawat terbang senior yang tampak gagah, pintar dan bersahaja, plus bisa keliling dunia gratis pula.
Karena cita-citanya itu, sejak kecil atau setidaknya (minimal) sejak SLTA, Budi sudah mulai menyusun roadmap perjalannya untuk menggapai cita-cita menjadi teknisi pesawat terbang, seperti memilih sekolah kejuruan atau  SMA yang jurusannya relevan dengan pekerjaan teknisi pesawat, begitu juga jurusan kuliahnya! Tentu jadi tidak nyambung kalau cita-citanya teknisi pesawat tapi sekolahnya di jurusan masak-memasak atau tata boga! Betul?
Sudah betul si-Budi, akhirnya sekolah di SMA umum dan mengambil jurusan IPA atau dalam konteks sekarang memilih pelajaran khusus  berbasis eksakta, bukan sosial atau budaya dan Alhamdulillah hasil belajar Budi progresnya sangat bagus. Bahkan nilai hasil belajar Si-Budi menjadi yang terbaik di kelas dan di sekolah, hingga mendapat privilese bisa masuk  jurusan teknik mesin pesawat di beberapa  perguruan tinggi favorit.
Sayang seribu kali sayang, saat pemeriksaan kesehatan di Universitas top yang menerimanya menjadi mahasiswa teknik mesin pesawat tanpa tes, ternyata Budi dinyatakan menyandang kelainan buta warna (carier dari jalur ibu atau dapat warisan buta warna dari jalur ibu), sehingga mau tidak mau, siap tidak siap, Budi dinyatakan tidak dapat melanjutkan pendidikannya di fakultas teknik mesin pesawat dan hanya diberi 2 opsi, melanjutkan kuliah di universitas yang sama tanpa tes, tapi wajib "banting stir" ke jurusan non eksakta alias ilmu sosial atau tidak melanjutkan perkuliahan sama sekali.Â
Kira-kira, seandainya anda di posisi si-Budi saat itu, Â bagaimana perasaan anda dan kira-kira opsi mana yang anda pilih!?
Wajar jika saat tu si-Budi kecewa berat! Coba bayangkan, cita-cita yang sudah dibangun dan diperjuangkan sepenuh hati sejak lama, mimpi indah yang bara spiritnya selalu  dijaga sepanjang waktu, saat itu harus diakhiri justru ketika sebelah kaki si-Budi sudah menapaknya. Terlebih, semuanya harus berakhir oleh sebab musabab yang saat itu, si-Budi tidak begitu memahami hal ihwal-nya….buta warna!
Kalau memang "status tidak buta warna" menjadi persyaratan Wajib dan mutlak di berbagai pendidikan dan juga pekerjaan berbasis ilmu eksak, kenapa sejak awal atau sejak dini tidak ada informasi tentang seluk beluk buta warna yang memadai berikut anjuran atau bahkan peringatan untuk melakukan tes sejak dini!? Bukankah ini sangat ironis?
Coba bayangkan, seandainya dari seluruh Indonesia setiap tahunnya ada 1000 siswa-siswa berprestasi tapi mempunyai profil khusus seperti si-Budi dan salah memilih cita-cita karena terlambat mengetahui dan menyadari kekhususan nya, betapa ruginya Indonesia!
Seandainya sejak awal si-Budi mengetahui dirinya menyandang buta warna, tentu dia "tahu diri" untuk tidak memaksakan diri membangun dan menggantungkan cita-cita setinggi langit, menjadi teknisi pesawat. Karena memang sudah pasti tidak akan pernah bisa, sebab kelainan buta warna tidak bisa disembuhkan, kecuali kelak ada teknologi yang bisa melakukannya, entah dengan kacamata tertentu atau yang lainnya!Â
Selain itu, seandainya ada mekanisme tes buta warna  sejak dini dan si-Budi terdeteksi menyanang buta warna, tentu resiko tersesat perjalanan hidupnya karena salah memilih cita-cita bisa dihindari sedini mungkin juga, karena cita-citanya bisa segera diganti dengan cita-cita lain yang  sesuai profil dan potensi diri, minat, juga kemampuan si-Budi, sehingga energinya juga lebih berdayaguna untuk mengejar cita-cita yang roadmap-nya lebih riil,  bukan yang masih kira-kira.
Mencermati begitu krusialnya peran tes buta warna sejak dini dalam proses perencanaan kependidikan seluruh anak bangsa dan relevansinya yang begitu dekat dan kuat dengan visi dan misi pembelajaran berdiferensiasi, secara khusus dan program merdeka belajar secara umum, sepertinya akan menjadi sangat bermanfaat bagi semua stakeholder kependidikan, jika momentum semarak Merdeka belajar saat ini, tes buta warna sejak dini menjadi bagian tak terpisahkan dari program merdeka belajar, atau setidaknya masuk dalam bagian dari kampanye semarak Merdeka belajar! Â
Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H