"Mohon maaf, dari hasil tes dan pemeriksaan, anda dinyatakan "buta warna parsial" dan itu artinya, dengan berat hati harus kami sampaikan, bahwa anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran”
Kronik Penyandang Buta Warna
Sungguh, fragmentasi dramatis diatas jelas tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya! Bagaimana tidak, mimpi dan cita-cita tertinggi saya untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtua, cita-cita yang sudah saya bangun dan perjuangkan sejak kecil, mimpi terindah yang selalu saya jaga spirit-nya di sepanjang waktu, harus saya sudahi lebih awal, justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya. Duuuuuuh sakitnya tuh disini! Menyedihkannya lagi, semua "tamat" oleh sebab yang awalnya saya sama sekali tidak tahu hal ihwal-nya, buta warna!
Minimnya akses informasi tentang seluk beluk buta warna, berikut dampaknya terhadap kehidupan menjadikan saya salah memetakan potensi diri, hingga salah memilih cita-cita sekaligus roadmap untuk mewujudkannya. Saya terlambat menyadari fakta sebagai penyandang buta warna, hingga harus membayar dengan ongkos yang sangat mahal untuk menanggung semua akibatnya.
Tidak hanya kerugian materi saja yang harus ditanggung keluarga saya, tapi juga energi, waktu dan juga momentum. Seandainya, sejak kecil saya sudah tahu menyandang kelainan buta warna, sepintar, secerdas dan sehebat apapun prestasi saya, tentu saya tetap "tahu diri" untuk tidak memaksakan diri bermimpi setinggi langit apalagi mengejar sesuatu yang memang tidak akan pernah mungkin bisa dikejar. Dengan begitu, saya bisa lebih fokus memanfaatkan energi dan waktu secara efektif dan efisien untuk membangun dan merengkuh mimpi yang lain, cita-cita besar lainnya sesuai dengan kenyataan saya sebagai penyandang buta warna.
Ironi "Sebelah Mata" untuk Buta Warna
Memang, kelainan atau cacat bawaan "buta warna" ini sangat unik! Tidak adanya tanda atau ciri fisik yang secara visual mudah dikenali, menjadikan banyak penyandang atau penyintasnya sendiri banyak yang tidak manyadari kalau dirinya penyandang buta warna. Sedangkan satu-satunya cara untuk mengetahuinya, harus melalui serangkaian tes medis yang umumnya menggunakan alat tes yang dikenal sebagai Ishihara plate oleh dokter spesalis mata.
Memang, kalau sekedar untuk mengetahui kita buta warna atau tidak, kita bisa melakukan tes mandiri, karena alat tes Ishihara mudah digunakan, tapi sayangnya untuk menganalisa kelainan buta warnanya lebih jauh, seperti pada buta warna sebagian atau butawarna parsial, hanya dokter yang bisa menganalisa parsial di warna apa.
Uniknya, meskipun di Indonesia label "tidak buta warna" menjadi persyaratan wajib di banyak pendidikan tinggi khususnya di semua bidang jurusan eksakta (teknik, kedokteran dll) dan program kedinasan milik pemerintah, bahkan juga pada banyak bidang pekerjaan yang berbasis eksakta, termasuk TNI-Polri, tapi anehnya tidak ada mekanisme atau prosedur resmi untuk mengedukasi masyarakat agar sejak dini prepare, memahami pentingnya tes buta warna sejak dini, syukur-syukur melakukan tes buta warna kepada anak-anaknya.
Tes buta warna sangat penting untuk membantu orang tua, anak-anak, sekolah dan tentunya juga pemerintah untuk memetakan blueprint potensi besar anak-anak Indonesia, agar bisa meraih gemilangnya masa depan dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Jadi memang sudah selayaknya "masalah" buta warna tidak lagi dipandang sebelah mata!