Warisan "Adat Badamai" dan Implikasinya pada Kehidupan Sosial Budaya Urang BanjarÂ
Jejak-jejak kejayaan Kesultanan Banjar yang menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan sekaligus menjadikannya sebagai sumber rujukan utama tata kelola kenegaraan, sosial dan budaya sejak berdirinya pada abad ke-16 atau tepatnya pada tahun 1526, sampai sekarang masih banyak yang bisa kita lihat dan rasakan pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Bahkan kedekatan Islam sebagai identitas spiritual dan kultural Urang Banjar, diilustrasikan dengan cantik oleh antropolog Judith Nagata, sebagai salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaannya, hingga lahir idiom "Islam itu Banjar, Banjar itu Islam!"
Jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak sangat jelas sampai detik ini, terutama dalam bentuk ritus adat (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, tradisi, hukum dan tentunya dalam peninggalan fisik seperti dalam arsitektur masjid, langgar, mushalla dan lain-lainnya.
Diantara sekian banyak warisan tradisi adat dan budaya Kesultanan Banjar yang masih eksis, sepertinya warisan Adat Badamai masih menjadi inspirasi ber-muammallah Urang Banjar yang implikasi  pengaruhnya paling kuat dan luas dalam kehidupan sosial, budaya dan relijius Urang Banjar sampai saat ini.
Baca Juga : Â "Adat Badamai", Tradisi Saling Memaafkan ala Urang Banjar
Tradisi adat badamai ini bersumber dari Undang-Undang Sultan Adam yang resmi diundangkan pada tahun 1835 Â dan kelak lebih dikenal sebagai UUSA 1835. Undang-Undang Kesultanan Banjar berbahasa Melayu Banjar ini terbit pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah (1825-1857).
Secara spesifik, Pasal 21 Â UUSA 1835 yang menjadi rujukan adat badamai ini berbunyi "Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim"Â yang artinya "Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim".Â