Diantara sekian puluh kali pengalaman mudik yang pernah saya alami, mudik ke pedalaman Pulau Kalimantan melalui jalur Sungai Barito dengan menggunakan moda transportasi kapal kayu tradisional merupakan pengalaman mudik yang paling luar biasa dan sepertinya tidak akan pernah bisa terlupakan seumur hidup saya. Bukan karena gratis, aman dan nyaman, tapi karena ngeri-ngeri sedapnya...he...he...he...!
Sebagai perantau yang keluar dari kampung halaman di kaki Gunung Lawu, Jawa Timur lebih dari 3 dekade silam, Insha Allah sudah semua moda transportasi darat, air dan udara saya nikmati untuk ritual mudik di hampir setiap lebaran tiba.
Sayangnya, jalur mudik saya dari Pulau Kalimantan ke Pulau Jawa atau interregional antar kota di Pulau Kalimantan, tidak pernah ada sekalipun yang memberikan fasilitas gratis he...he...he... Tapi tak apalah, semoga Allah SWT selalu mencukupkan rezeki saya agar tetap bisa mudik tiap tahunnya. Amin.
Mudik dari Kota Banjarmasin menuju beberapa kota di pedalaman hulu Sungai Barito PP alias pergi-pulang menggunakan jalur sungai, sebenarnya memang bukan lagi menjadi jalur utama mobilisasi manusia dan barang, karena pembangunan infrastruktur jalan raya darat yang sekarang sudah mencapai jauh ke pedalaman hulu Sungai Barito menjadikan jalur transportasi darat jauh lebih efektif dan efisien.
Tapi meski begitu, masih banyak diantara warga masyarakat, khususnya yang tinggal di sepanjang sungai Barito dan anak-anak sungainya, sampai detik ini masih saja belum bisa move on naik kendaraan umum jalur darat.
Ada banyak alasannya! Empat diantaranya yang paling populer adalah jauh lebih murah, takut mabuk darat, kampung yang dituju masih sulit dijangkau dengan mobil dan romantisme perjalanan jalur sungai yang katanya tidak akan pernah bisa tergantikan oleh moda apapun!
Catatan saya, khusus untuk alasan ketiga atau "romantisme" perjalanan jalur sungai memang sangat sulit untuk di kesampingkan, bahkan bagi saya yang sebenarnya merupakan seorang aquaphobia alis takut air yang berlebihan karena peristiwa traumatik di masa kecil saya.
Jujur, selama perjalanan dari Banjarmasin (Kalsel) ke Muara Teweh, (Barito Selatan-Kalteng) melalui jalur Sungai Barito yang ditempuh selama 2 hari 2 malam ini, saya kesulitan membedakan antara sedang berpetualang atau bulik kampung (mudik ; bahasa Banjar) ?