Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Romansa Anak-anak Langgar 80-an Menghidupkan Ramadan

2 April 2023   23:06 Diperbarui: 2 April 2023   23:29 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadan atau wulan posoan, selalu menjadi waktu yang istimewa bagi siapa saja, termasuk bagi kami "anak-anak langgar" era 80-an yang tumbuh dan besar di kampung-kampung, seputaran kaki Gunung Lawu bagian timur laut. Tidak heran jika saat itu, kami anak-anak yang ikut menikmati romansanya akan selalu menantikan kehadirannya, sekaligus tidak akan pernah bisa melupakan berbagai  kenangan indahnya sepanjang masa. 

Dunia Berteman dan Main-main. 

Sudah menjadi rahasia umum, dunia anak-anak itu ya dunia main-main. Naluri ini yang menuntun anak-anak bisa merasakan dan menikmati masa kanak-kanak kami lebih maksimal. Kita saat itu seperti tidak pernah kehabisan ide dan cara yang asyik mengisi ruang dan waktu yang kami miliki tanpa rasa bosan, termasuk saat tetap harus "bermain-main" ditengah-tengah manghidupkan sakralitas bulan puasa Ramadan dengan cara kami, anak-anak! Marhaban ya Ramadan!

Seperti dunia anak-anak lainnya, cara kami mengisi ramadan-an saat itu layaknya mengambil "spirit" bermain-main ala anak-anak yang saat itu lebih suka berteman, selalu bersama-sama dan tentunya bersenang-senang sebagai spirit beribadah kami. 

Itulah sebabnya, saat itu kami bisa lebih menikmati hampir semua waktu kami selama bulan ramadan sebagai quality time untuk beribadah tapi tetap dalam suasana yang  menyenangkan. 

Saat itu , circle kami anak-anak di kampung sebagian besar memang teman-teman yang seumuran, jadi lebih mudah ngeklik-nya! Kami biasa bersama-sama beribadah puasa seharian penuh, sholat lima waktu, taddarus Alquran dan juga shalatul lail setiap malam di langgar (sebutan lain dari mushalla di kampung kami). 

Bahkan,  makan sahur-pun sebagian besar juga kami lakukan bersama-sama, meskipun kadang harus berpindah-pindah kerumah beberapa teman, kalau kebetulan tidak ada takjil taddarusan yang tersisa untuk sahur, karena inilah kami dijuluki sebagai anak-anak langgar.

Kemul Sarung

Salah satu yang paling spesial di bulan Ramadan adalah hadiah sarung baru untuk sholat di langgar. Tidak seperti sarung jaman sekarang yang bahan, desain, corak, warna dan tentu harganya juga sangat beragam, sehingga memberi banyak pilihan. Sarung anak-anak saat itu semuanya bermotif kotak-kotak dengan warna yang ngejreng.

Baca Juga :  Merindu Ramadan, "Kurikulum Langit" Penuntun Fitrah Manusia

Namanya juga anak-anak, sarung tersebut selalu kami bawa ke langgar. Selain untuk sholat, biasanya juga kami pakai untuk bermain-main dengan teman-teman, seperti ikat kepala bajak laut, topeng ninja, atau jadi jubah terbang layaknya superman, batman dan teman-temannya.

Setelahnya, apalagi kalau bukan untuk perang sarung dan setelah kecapekan, barulah kain-kain bakalan sarung itu kembali kepada fungsi legendaris-nya, untuk kemul  sarung alias selimut yang menemani tidur malam kami di langgar selama Ramadan.

Ritual Lus Sikil 

Kami anak-anak langgar  mempunyai satu "ritual" unik yang telah mentradisi sejak lama yang biasa kami sebut sebagai lus sikil atau usap kaki yang biasa kami lakukan secara beramai-ramai, secara paralel setelah rangkaian ibadah malam Ramadan tunai semuanya dan semua sudah bersiap untuk tidur. 

Caranya cukup mudah! Secara teknis sangat sederhana, yaitu saling mengusap kaki teman (biasanya bagian telapak, kecuali ada kesepakatan lain). Jika hanya berdua, maka dengan cara berebah kami tinggal mengatur posisi, agar masing-masing bisa saling mengusap telapak kaki secara lembut, sehingga masing-masing tidak berasa geli, tapi justeru merasa keenakan hingga akhirnya tertidur pulas.

Ritual lus sikil ini menjadi ikonik karena didalanya tidak sekedar usap-mengusap atau sekedar ngelus-ngelus telapak kaki hingga tertidur semata, tapi juga ada obrolan, gurauan, bahkan curhat-curhatan. Karenanya, kedekatan emosi lebih menjadi pertimbangan untuk membentuk grup atau setidaknya partner  lus sikil ini.

Sampai saat ini, kami masih mengingat dengan jelas, romansa Ramadan anak-anak langgar di kampung kecil kami di kaki Gunung Lawu dekade 80-an dan sebagai pengobat rindu, saya mencoba untuk terus melestarikan tradisi lus sikil ini di dalam keluarga saya sendiri dan uniknya, tradisi lus sikil ini telah menjadi "obat tidur" paling mujarab dalam keluarga kami. Naaah, mau mencoba?

Langgar Base Camp

Meskipun menjadikan langgar sebagai base camp, hingga lebih banyak berkutat di seputaran langgar, kami tetap bisa bermain sepuas yang kami bisa dan uniknya mainan kami saat itu bisa dibilang hanya seadanya. Tapi justeru karena itu, akhirnya kami bisa menjadikan apa saja yang ada disekitar kami sebagai mainan-mainan anti mainstream yang menyenangkan dan membahagiakan.

Selain main mainan reguler anak laki-laki yang tetap bisa dimainkan di bulan puasa seperti sepak bola, main sepeda, mancing di sungai, termasuk ciblon alias main-main di sungai, kami juga sering bermain-main asyik dengan berbagai benda di sekitar, seperti  pecahan genteng dan bola dari gumpalan plastik untuk permainan boy, batu-batu di jalanan bisa pakai main damparan dan patahan kayu buat main patil lele. 

Baca juga :  Meluruskan Kekeliruan Massal "Umat Muslim"

Tidak hanya itu, setelah shalat tarawih apalagi kalau pas bulan purnama, kami  biasa memainkan kertas koran bekas menjadi mainan keren yang kami sebut sebagai lampion terbang yang benar-benar bisa terbang. Keren kan!? Selain itu kami juga bisa main benteng-bentengan dengan memanfaatkan dinding Regol alias tiang pintu masuk halaman rumah. Jika ingin variasi permainan, kami juga memainkan permainan legendaris yang biasa kami sebut sebagai gobak sodor... ada yang masih bisa memainkannya!?

Selain permainan-permainan diatas, kami juga memainkan permainan-permaianan yang agak ekstrim layaknya Cah lanang alias anak laki-laki lainnya, seperti longdem alias meriam bambu atau meriam tanah atau ada juga yang menyebutnya sebagai meriam karbit dan beragam model petasan tradisional buatan sendiri dari bahan-bahan limbah seperti busi bekas sepeda motor, pangkal jeruji sepeda motor, sampai koran atau kertas bekas pakai. Seru ya? 

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun