Urang Banjar atau Orang Banjar, sejak berabad-abad silam telah dikenal sebagai suku perantau selayaknya suku-suku pesisir di nusantara pada umumnya, hingga merantau atau dalam bahasa Banjar dikenal sebagai madam, menjadi budaya yang tetap aktual sampai saat ini, khususnya sebagai bentuk aktualisasinya dalam rangka menuntut ilmu, dakwah dan berdagang.
Salah satu bukti otentik dari hipotesis ini adalah hasil dari riset kolaboratif internasional yang berhasil mengidentifikasi Urang Banjar sebagai nenek moyang dari masyarakat Komoro dan Madagaskar di Afrika Timur berdasar riset linguistik, arkeologis dan juga genetik.
Menariknya, kedatangan Urang Banjar ke Afrika Timur setelah berlayar menyeberangi Samudera Hindia dan mengkolonisasi Kepulauan Komoro dan Madagaskar, sejauh lebih dari 7.000 kilometer sejak abad ke-6 hingga ke-13 itu juga tidak jauh-jauh dari urusan perniagaan atau perdagangan.
Baca juga Yuk! Icip-icip Sedapnya Oseng Parutan Iwak Haruan
Untuk membaca lebih detail terkait hasil penelitian di atas, silakan baca artikel berjudul "Kisah Suku Banjar Menjadi Leluhur Orang Madagaskar dan Komoro" di laman National Geographic Indonesia, sedangkan untuk tradisi madam alias budaya merantau ala Urang Banjar, pernah saya ulas dalam artikel berjudul Kisah "Madam", Memahami Tradisi Merantau Urang Banjar ke Berbagai Penjuru Dunia. Silakan klik pada link aktifnya kalau penasaran dengan informasinya!
Jiwa dagang yang melekat pada Urang Banjar, tentu saja tidak semuanya menelorkan saudagar-saudagar kaya yang bergelut dengan perdagangan skala besar antar pulau, antar negara bahkan antar benua, tapi juga melahirkan pedagang-pedagang yang lebih memilih "bermain" di level lokal atau skala yang lebih kecil karena berbagai alasan.
Salah satu jejak pedagang-pedagang di level ini, sampai sekarang masih bisa kita lihat sebagai usaha perdagangan masyarakat yang di seputaran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! dikenal sebagai pencerekenan atau versi lainnya pancarekenan dan lebih lengkapnya warung pencerekenan.
Kosakata pencerekenan berikut grafis penulisannya seperti itu, lazim kita dapati dalam percakapan sehari-hari maupun dalam artikel-artikel tentang budaya Banjar.
Kosakata pencerekenan diperkirakan diadopsi dari kata rekenen, sebuah kosakata dalam Bahasa Belanda yang maknanya adalah menghitung. Di dalam Bahasa Indonesia, dari KBBI ditemukan kata reken atau mereken yang berarti menghitung; memperhitungkan; memperkirakan.