Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Brimo dan Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Tahun 90-an

25 Mei 2022   23:34 Diperbarui: 25 Mei 2022   23:42 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap perjalanan adalah pelajaran, begitulah saya selalu memaknai setiap jengkal langkah dalam perjalanan saya, kemana saja. Setiap fragmen-nya adalah  catatan arif kehidupan, guru terbaik untuk bekal perjalanan berikuutnya sekaligus sebentuk kenangan yang epertinya sulit untuk saya lupakan.

Salah satu fragmen perjalanan terbaik yang memberikan pelajaran kehidupan cukup komplek secara faktual dan masih terekam dengan jelas sampai saat ini adalah kronika mudik di era 90-an. 

Menurut saya, inilah salah satu scene terbaik dalam sekuel perjalanan kehidupan saya, sebuah pelajaran yang kelak memberi pengaruh besar terhadap pola pikir serta pola sikap sosial saya, makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang lebih memilih mengisi sekaligus menikmati lebih dari separuh umurnya menjadi perantau tulen.

...dan tahukah anda, mengingat dan mengenang momen mudik 90-an, tepat dimana saat itu saya tengah berada di masa-masa remaja yang penuh gairah dan gejolak khas kawula muda, selalu membuat saya merasa jauh lebih muda lagi beberapa tahun! Asyeeeek!

   

Mudik 90-an  | You Tube/PRIBUMI SLIDE
Mudik 90-an  | You Tube/PRIBUMI SLIDE

Membingkai Warni-warni Pesona Perjalanan Mudik Era 90-an

Setidaknya ada tiga moda transportasi darat yang pernah menemani perjalanan mudik saya di awal-awal merantau ke Kota Tembakau di ujung timur Pulau Jawa untuk tugas belajar, mulai dari kereta api, bus sampai sepeda motor. 

Ketiganya tentu mempunyai ciri khas, kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam menemani saya menjelajah jarak yang membentang sejauh sekitar 400 km tersebut. 

Tapi karena lebih fleksibel, saat itu saya lebih suka dan lebih sering mudik dengan menggunakan sepeda motor sendirian dengan waktu tempuh sekitar 8-9 jam dari pada menggunakan dua moda transportasi lainnya. Tapi bagaimanapun, ketiganya telah mengantarkan saya bertemu dengan segudang pengalaman, pelajaran dan kenangan indah dalam perjalanan-perjalanan mudik saya di 90-an!

Diantara sekian banyak sisik menarik perjalanan mudik saya di era 90-an yang secara normal melewati sekitar 12 kota/kabupaten dan 15-an kota/kabupaten jika ingin mlipir ke jalur utara atau selatan adalah bisa menikmati eksotisnya alam dan budaya Jawa Timur dari ujung timur sampai ujung barat, khususnya menikmati indah dan megahnya masjid-masjid landmark masing-masing Kota dan juga  kekayaan kuliner legendaris di tiap daerah yang saya lalui. Kira-kira ada yang bisa menyebutkan daerah mana yang saya lewati saat mudik 90-an?!

Suwar-suwir Khas Jember | kompas.com
Suwar-suwir Khas Jember | kompas.com

Dimulai dari Kota Tembakau yang punya oleh-oleh camilan unik berbahan dasar tape dan buah-buahan yang biasa dikenal sebagai suwar-suwir. Hayo, sudah pada coba manisan padat dengan citarasa unik ini belum? Selanjutnya di jalur Klakah-Lumajang, ada Pisang Agung dan juga keripik pisang. Sedangkan di Probolinggo, jelas Rawon Nguling yang menjadi jujugan saya.      

Setiap memasuki Pasuruan dan Bangil, baik via stasiun kereta api maupun terminal bis, saya biasa bertemu dengan pengasong yang menjual bipang atau jipang atau ada juga yang menyebut sebagai berondong beras cap jangkar yang citarasa otentiknya memang legendaris.

Selanjutnya, jika naik kereta api perjalanan dilanjut ke Stasiun Sidoarjo-Surabaya, tapi kalau naik bis langsung ke terminal purabaya/Bungurasih, Surabaya di Sidoarjo dan kalau naik sepeda motor sendiri, saya memilih langsung menuju jalur alternatif ke arah Mojosari, Kabupaten Mojokerto

Di wilayah "persimpangan" ini saya paling suka kulineran Tahu campur, Kupang Lontong dari Sidoarjo, di Surabaya saya paling suka dengan sego bebek, rawon, lontong balap dan rujak cingur, sedangkan di Mojokerto saya paling suka dengan onde-onde, keciput dan Soto Daging legend-nya Haji Sukron Mahmud.

Sampai di Jombang, soto daging atau soto dok dan minuman sinom dari bahan pucuk daun asam yang segarnya menyehatkan merupakan pilihan pertama saya dan selanjutnya di jalur Nganjuk, Madiun sampai di kaki Gunung Lawu saya pasti tidak bisa melewatkan sedapnya nasi pecel ndeso dengan ditemani secangkir kopi nashittel alias kopi panas pahit dan kentel. 

Aplikasi BRImo | @kaekaha
Aplikasi BRImo | @kaekaha

Semua jenis kuliner kesukaan saya diatas adalah kuliner rakyat yang populer di daerahnya masing-masing. Selain dikenal karena citarasa legendarisnya, masing-masing harganya juga merakyat. Jadi jangan kuatir bikin kantong bolong! 

Apalagi mengusik simpanan sangu uang cash yang biasanya disembunyikan di dalam kaos kaki, lipatan ikat pinggang bagi laki-laki dan di dalam kutang bagi perempuan. Naaaaah, kira-kira di jaman digital seperti sekarang masih ada nggak ya yang melakukan itu dalam perjalanan, agar uang sangu-nya aman?

Sepertinya sudah nggak perlu lagi ya, kan ada BRImo!

Mudik 90-an | You Tube/PRIBUMI SLIDE
Mudik 90-an | You Tube/PRIBUMI SLIDE

Elegi Kronik Mudik 

Stasiun KA Jember, 3 hari menjelang lebaran 1995

Gerbong kereta api Argopuro yang mengangkut saya mulai bergerak perlahan, ketika tiba-tiba dari arah dalam gerbong terdengar teriakan panik seorang yang sepertinya juga berusaha menyibak jejalan manusia di setiap jengkal gerbong yang memang terasa sesak.

"Tolong anak dan isteri saya masih di bawah" teriak si-bapak masih tanpa terlihat sosoknya, sedangkan saya dan penumpang lain yang berjejal di sepanjang lorong pintu dan sambungan kereta hanya bisa saling memandang, karena kamipun tidak bisa bergerak sama sekali, terhimpit padatnya penumpang.

Apalagi, gelombang penumpang di Stasiun Jember yang baru saja naik memang lumayan banyak, hingga memaksa semua penumpang, termasuk si-bapak untuk tetap berada diposisinya dan tidak bisa kemana-mana, ketika laju gerbong kereta semakin kencang.

Ternyata, kabarnya si-bapak tidak hanya terpisah dari anak dan istrinya saja, tapi juga dengan dompet berisi uang bekal yang sebelumnya beliau titipkan ke sang isteri, sebelum berusaha untuk menaikkan barang bawaan terlebih dulu saat kereta berhenti.

Lantas bagaimana nasib si-bapak dan juga anak istrinya yang tertinggal!?

Mudik Solo | Unsplash/Ivan Hermawan 
Mudik Solo | Unsplash/Ivan Hermawan 

Kertosono, Suatu Sore di 1997

Ini kali ke-4, saya harus singgah ke tukang tambal ban untuk menambalkan ban sepeda motor yang saya pakai mudik dari Kota Tembakau ke Kaki Gunung Lawu hari ini. Sayang, kali ini ban luar dan dalamnya tidak bisa diselamatkan lagi, harus diganti baru! Waduuuuh, padahal bekal uang saya hanya cukup untuk persiapan beli seliter bensin saja, sedangkan perjalanan masih jauh.

Ketika nambal ke-2, sesaat sebelum masuk Kota Pasuruan, sebenarnya saya disarankan mengganti ban belakang luar-dalam yang memang mulai gundul, sedangkan ban dalamnya juga sudah banyak tambalannya. Begitu juga tukang tambal ke-3, di ruas jalan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. 

selain menyarankan ganti ban, beliau  juga mengaku terkejut mendengar pengakuan saya mudik sendirian dengan motor butut dari ujung timur Jawa Timur ke ujung barat Jawa Timur yang berjarak sekitar 400 km tersebut. "Mudahan sampai tujuan kata beliau!"

Jujur, sebenarnya bukan saya tidak mau mengganti ban sepeda motor, karena semua juga demi keamanan, kelancaran dan keselamatan saya di perjalanan ini, tapi karena anggarannya yang memang tidak ada dalam perjalanan ini. Terus bagaimana kalau sudah begini?

 

151437700000-mudik780x390-628e27e153e2c30d31769793.jpg
151437700000-mudik780x390-628e27e153e2c30d31769793.jpg

Pasar Krian, Sidoarjo Sore di Pebruari 1999 

Setiap Sabtu sore, ruas jalan di depan Pasar Krian, Sidoarjo ini selalu dipadati oleh penumpang bis dan angkutan umum jarak menengah sampai jauh ke arah barat seperti Kediri, Blitar, Jombang, Madiun, sampai seputar Solo Raya yang didominasi oleh pekerja pabrik dan perusahaan di seputar Sidoarjo yang ingin pulang kampung mingguan.

Kepadatan Sabtu sore seperti itu bisa berlipat berkali-kali ketika bertepatan dengan libur lebaran alias waktunya mudik bagi semua pekerja yang biasanya selalu bersama-sama. 

Bisa dibayangkan, seperti apa "kompetisi" untuk memperebutkan sekedar sejengkal tempat untuk bisa terbawa bus ke kota tujuan!? Ditengah keterbatasan armada yang semuanya sudah penuh penumpang sejak masih di Terminal Purabaya, Surabaya.

Pada suatu sore, saat saya juga ikut berkompetisi memperebutkan sejengkal tempat untuk sekedar menempatkan salah satu kaki saya agar bisa ikut terbawa ke kampung halaman, tiba-tiba ada sepasang penumpang yang sepertinya diturunkan paksa dari bus yang lewat di depan kami, berikut beberapa barang bawaanya.

Penumpang yang ternyata Suami isteri tersebut, sepertinya sedang cek- cok dan menyebut-nyebut tengah kecopetan tas dan dompet, hingga tidak menyisakan uang sepeserpun untuk membayar ongkos bus saat kondektur mengutipnya, hingga dengan terpaksa mereka harus rela diturunkan di ruas jalan Pasar Krian ini.

Terus bagaimana cara mereka melanjutkan perjalanan mudik ke Sragen, sementara sama sekali tidak mempunyai ongkos!?

Aplikasi BRImo | @kaekaha
Aplikasi BRImo | @kaekaha

BRImo dan Lorong Waktu 

Seandainya Smartphone, aplikasi BRImo dan beragam layanan inovatif BRI yang berbasis digital kekinian bisa "ditransfer" ke era 90-an, tentu kisa elegi  fragmen perjalanan  mudiknya akan happy ending.

Dengan BRImo di tangan, kita seperti membawa asisten yang bisa bekerja layaknya seperangkat kantor BRI kemanapun kita pergi. Jadi, semua aktifitas di sepanjang perjalanan mudik yang memerlukan transaksi keuangan, Insha Allah akan aman dan nyaman. 

Jangankan kepikiran menyembunyikan uang perjalanan di dalam kaos kaki atau di tempat-tempat super rahasia lainya, ketinggalan dompet alias cashless-pun bukan lagi masalah. 

Barcode QRIS | @kaekaha
Barcode QRIS | @kaekaha

Untuk membeli oleh-oleh dan makan di perjalanan atau sedekah ke masjid-masjid yang disinggahi, kita bisa memanfaatkan fitur transaksi QRIS yang realtime, cepat, mudah dan tentunya tetap aman. Tinggal login ke BRImo, pencet fitur QRIS untuk scan barcode beres dah!  Kalau kedai/outlet belum mendukung transaksi QRIS, bisa juga dengan fitur transfer yang bisa transfer ke bank apa saja.

Jika kebetulan kehabisan saldo BRImo atau juga uang cash karena ketinggalan/kecopetan dompet atau sebab lainnya, padahal harus beli ban sepeda motor atau  keperluan mudik lainnya, bisa minta tolong keluarga dulu untuk transfer saldo BRI. Untuk mengambilnya, kita bisa mengambil uang tunai di ATM meskipun tanpa kartu ATM atau bisa juga di agen BRILink terdekat.

Jika ATM untuk mengirim uang jauh dan kebetulan jam kantor layanan BRI sudah lewat, bisa langsung ke agen BRILink terdekat yang juga melayani transaksi perbankan layaknya kantor BRI secara realtime dengan fitur EDC miniATM BRI atau BRILink Mobile,  kapan saja selama outlet masih buka.

Semoga Bermanfaat,

Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun