Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Tradisi Badadamaran dan Tanglong, "Penunjuk Jalan" Menuju Malam 1000 Bulan

22 April 2022   23:23 Diperbarui: 23 April 2022   17:47 2092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Badadamaran dan Tanglong

Istilah tradisi badadamaran dalam budaya Urang Banjar berasal dari kata damar, yaitu sejenis pohon kayu keras dengan nama latin Agathis dammara yang bisa disadap di bagian kulit batangnya untuk diambil getahnya yang biasa disebut sebagai getah damar, getah multifungsi yang harganya sangat mahal.

Sebelum listrik masuk ke Pulau Kalimantan, getah damar menjadi salah satu sumber bahan bakar dari alam untuk penerangan yang dipakai oleh masyarakat Kalimantan. Hanya saja, karena harganya yang relatif mahal, tidak setiap hari masyarakat membakarnya untuk menerangi aktifitas sehari-hari ketika malam mulai menyelimuti.

Biasanya hanya pada momen-momen tertentu saja bahan bakar dari getah damar dibakar untuk menerangi gelapnya malam, salah satunya yang mentradisi adalah menerangi malam-malam di sepanjang bulan Ramadan yang biasa di sebut masyarakat sebagai aktifitas badadamaran.

Tujuannya jelas, pemasangan obor di depan rumah atau di pinggir jalan ini selain menyemarakkan malam-malam selama bulan Ramadan, juga sangat bermanfaat untuk menerangi jalan, sehingga memudahkan masyarakat yang ingin menuju ke langgar atau masigit (masjid ; bahasa Banjar), untuk mengikuti kajian, shalat malam, tadarus, itikaf dll.

Sayang, konon lama kelamaan seiring semakin langkanya pohon damar di banua, hingga harganya juga ikut tidak terkontrol, berpengaruh pada eksistensi tradisi badadamaran di banua. 

Jika di awal tradisinya, masyarakat membakar getah damar di sepanjang malam-malam bulan Ramadan, berikutnya hanya tertinggal di sepuluh hari terakhir saja.

Ublik atau Senthir, Badadamaran versi Minyak Tanah  | asysyariah.com
Ublik atau Senthir, Badadamaran versi Minyak Tanah  | asysyariah.com

Memang, akhirnya masyarakat banua bisa menyiasati kelangkaan getah damar dengan memanfaatkan lembaran karet kering yang juga bisa disulut dengan api, setelah sebelumnya ditempatkan dalam wadah-wadah kreasi sendiri dari bahan apa saja, bisa batang pisang, pelepah daun rumbia, bambu atau yang lainnya.

Uniknya, meskipun tidak lagi memakai getah damar sebagai bahan bakar, masyarakat tetap menyebut aktifitas mereka menerangi malam-malam ramadan tersebut dengan badadamaran, bahkan ketika jenis bahan bakarnya semakin beragam, sejak hadirnya lilin dan minyak tanah yang selain mudah didapat, juga relatif lebih murah.

Baca Juga :  Balai Hakey, Jejak Tua Tradisi Toleransi Suku Dayak Ma'anyan-Suku Banjar yang Tetap Aktual

Dalam perjalanannya, evolusi badadamaran tidak hanya terjadi pada ragam jenis bahan bakarnya saja, tapi juga wadah atau tempat membakar bahan bakarnya, berikut semua perlengkapannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun