"Ndeso!"Â
Itulah kata-kata saling ejek yang keluar dari bibir kami sesama anggota "Laskar Gerhana Matahari" yang sepagi itu, kira-kira pukul 07.30 WIB sudah benar-benar mabuk laut hingga setengah teler alias setengah sadar secara masal!
Saat itu, Rabu pagi , 9 Maret 2016 kami yang tergabung dalam "Laskar Gerhana Matahari" yang terdiri dari blogger, fotografer dan jurnalis berjumlah sekitar 20 orang, berada diatas geladak kapal patroli BAKAMLA (Badan Kemanan Laut) KN 4801 Bintang Laut dalam misi menyaksikan, mengamati sekaligus mendokumentasikan detik-detik terjadinya salah satu fenomena alam paling akbar di abad 21, Gerhana Matahari Total.
Baca Juga : Â Shalat di Masjid Kayu Tertua di Kota Banjarmasin Ini Bikin Adem Lahir-Batin!
Bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menggaungkan sekaligus meramaikan fenomena alam GMT yang kemungkinan akan menyapa sebagian besar wilayah Indonesia ratusan tahun lagi, Kementerian Pariwisata yang punya gagasan sekaligus hajatan, membawa  kami mengunjungi langsung lokasi spot terbaik untuk menyaksikan GMT, yaitu di tengah laut perairan Kepulauan Bangka-Belitung.
Perjalanan kami sampai ke tengah laut, sudah kami mulai sejak pukul 02.30 WIB. Selepas meninggalkan hotel di Kota Tanjung Pandan, Belitung, kami langsung menuju ke dermaga Tanjung Batu, lokasi tambat Kapal Patroli KN 4801 Bintang Laut.Â
Setelah diawali dengan seremonial, termasuk doa bersama untuk keselamatan semua tim yang akan menuju ke tengah laut, secara perlahan kapal yang juga dipersenjatai dengan berbagai peralatan tempur layaknya kapal perang itu mulai bergerak dalam kegelapan malam yang masih begitu pekat.
Setelah beberapa jam berlayar, secarik cahaya merah di ufuk timur mulai menghias angkasa seiring dengan berkumandangnya Azan Subuh yang langsung dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah di atas geladak kapal yang masih saja bergerak menuju ke tengah laut. Inilah pengalaman pertama sebagian besar "Laskar Gerhana Matahari", termasuk saya, melaksanakan sholat di atas geladak kapal patroli "militer" yang tengah bergerak secara berjamaah pula. Sensasinya sungguh luar biasa!Â
Baca Juga : Â Mengenal Alat Musik Dayak Sape' dan Keledi, Instrumen "Sound of Borobudur" dari Kalimantan
Ombak yang terus menggoyang dan perubahan arah kapal yang kadang-kadang terasa tiba-tiba membuat berdiri kami sempat sempoyongan. Tidak heran jika saat itu,  belum apa-apa sebagian dari kami sudah ada yang harus tumbang karena  mabuk laut, hingga akhirnya lebih memilih untuk rebahan atau setidaknya sholat sambil duduk.