Mendekati bulan Ramadan, pemberitaan media baik cetak, elektronik maupun online biasanya akan memberikan porsi lebih besar dari biasanya  terhadap tematik terkait berbagai dinamika dunia Islam, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan berbagai pernik bulan Ramadan, bulan dimana Sang Khaliq mewajibkan semua umat beriman untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Ini yang menarik! Salah satu kata kunci terbanyak dari beragam berita maupun artikel-artikel yang bertebaran di berbagai media tersebut adalah frasa atau istilah yang lazim disebutkan sebagai "umat muslim".
Kalau dicermati, dari judul berita pada hasil screenshoot dari laman google.com diatas "Umat Muslim di Australia Dihantui Ancaman Kejahatan Rasial Selama Bulan Ramadan" dan "Umat Muslim di Kota Sorong Diperbolehkan Sholat Terawih di Masjid", apalagi kalau dibaca isi beritanya, ternyata yang dimaksud dengan "umat muslim" disini adalah masyarakat yang beragama Islam alias pemeluk atau penganut agama Islam.Â
Begitu juga dengan yang disebutkan oleh sebagian besar pembawa acara berita di  stasiun TV yang secara beramai-ramai juga sering menyebutkan frasa "umat muslim" untuk tematik yang merujuk masyarakat yang beragama Islam alias pemeluk atau penganut agama Islam.
Lhaaaaah! Kalau yang dimaksud "umat muslim" itu memang penganut atau pemeluk agama Islam, lantas siapa yang dimaksud sebagai umat Islam?
Apakah umat muslim itu sama halnya atau padan kata dari frasa umat Islam?Â
Jujur, melihat fakta masifnya pemakaian frasa "umat muslim" di berbagai media telah membuat saya gelisah. Ada yang terus mengganggu hati dan logika saya , setiap kali mendengar atau membaca frasa "umat muslim" terus membanjiri ruang baca dan ruang dengar masyarakat dan anehnya lagi, tidak ada satupun pakar bahasa yang berusaha untuk meluruskan kekeliruan masal "Umat Muslim" tersebut!
Mohon maaf, sepertinya memang ada masalah yang lumayan serius dengan cara kita berbahasa Indonesia! Sekilas, entah karena mata dan telinga kita memang telah terbiasa atau karena tingkat ketidak pedulian kita kepada pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar memang benar-benar sangat memprihatinkan, sehingga semua merasa baik-baik saja!
Sepertinya, peribahasa "gajah di pelupuk mata tak kelihatan, tapi kuman di seberang lautan jelas kelihatan" bisa mewakili fakta unik nan memprihatinkan ini! Bagaimana tidak?
Sekali lagi mohon maaf, tanpa teori "pelajaran" bahasa Indonesia tingkat tinggi yang pastinya menjadi domain guru dan para pakar bahasa Indonesia-pun, sebenarnya kita yang relatif awam masih bisa mengerti dan memahami bagaimana disposisi frasa "umat muslim" tersebut!Â