Teori Dimensi Manusia
Merujuk pada tujuan  pendidikan  nasional pada pasal 3 Undang-Undang  Pendidikan  Nasional,  no.  20/2003,  secara lugas disebutkan sebagai upaya untuk membina kepribadian sekaligus membentuk watak  anak didik agar bisa mengembangkan seluruh potensi  dan  nilai pada dirinya,  sehingga mampu menunaikan kewajiban hidupnya, sebagai makhluk  individu dan makhluk  sosial,  menjadi manusia yang  beriman  dan bertaqwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa (makhluk religi), berakhlak  mulia, warga  Negara yang demokratis dan  bertanggung jawab (makhluk susila).Â
Dari penjabaran diatas, secara tersirat kita juga mendapati teori dimensial manusia ternyata tidak hanya sebatas makhluk  individu dan makhluk  sosial semata, tapi juga dimensi sebagai makhluk susila dan makhluk religi.
Sebagai makhluk  individu manusia adalah kesatuan yang terbatas, diciptakan Tuhan terdiri dari unsur jasmani (raga) dan rohani (jiwa) yang tidak dapat dipisah-pisahkan yang kelak harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan.Â
Dalam diri manusia, Tuhan juga menginstal bentuk kesadaran diri yang meliputi kesadaran diri diantara realita, self-respect, selfnarcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisation yang kelak membentuk kodratiah sebagai makhluk monodualis, yaitu menjadi makhluk  individu dan makhluk  sosial sekaligus.
Sedangkan sebagai makhluk  sosial, dalam kehidupan sehari-hari, individu manusia sebagai bagian dari warga masyarakat, jelas tidak  dapat hidup sendiri untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Terlebih lagi, pada diri manusia tertanam sifat gregoriousness sejak dilahirkan, yaitu  hasrat/bakat/naluri yang kuat untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya atau juga kita kenal sebagai zoon politicon menurut teori Aristoteles (384-322 SM).
Konsekuensi sebagai makhluk sosial, menjadikan manusia harus saling berhubungan satu sama lain, sehingga dalam perjalanannya diperlukan aturan-aturan/norma- norma untuk menjadikan keterhubungan antar manusia ini lebih beradab dan membawa mereka menjadi lebih baik. Disinilah aktualisasi dimensi serta peran manusia sebagai makhluk susila atau makhluk yang beretika.
Sebagai makhluk susila, pada hakekatnya manusia yang telah dibekali kesadaran diri, dapat menghayati norma-norma dalam kehidupannya, sehingga mampu mengambil keputusan susila atau menentukan ukuran kepantasan/etiket(persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan) sebuah aktifitas, sekaligus melaksanakannya atau mempraktikkannya.Â