Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulau Siompu dan Si-Mata Biru, "Jejak Cinta" Bangsa Portugis nan Eksotis

2 Maret 2020   10:04 Diperbarui: 2 Maret 2020   10:09 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uniknya, sebagai salah seorang pewaris darah Portugis di Pulau Siompu, Riska "hanya" kebagian mata biru saja, karena kulit Ariska tetap sawo matang seperti lazimnya warga Siompu dan umumnya masyarakat Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan fakta dilingkungan pulau Siompu, khususnya di  Desa Kaimbulawa, yang hanya menyisakan hanya sekitar 10 orang yang memiliki mata biru, termasuk La Dala dan Riska puterinya, sementara sisanya mewarisi ciri fisik lainnya, seperti hidung mancung, rambut pirang dan juga perawakan tinggi besar mirip orang Eropa tanpa memiliki mata berwarna biru.

La Dala bersama isteri (kiri), dan puterinya, Riska (kanan) (Fb. Humas Buton Selatan)
La Dala bersama isteri (kiri), dan puterinya, Riska (kanan) (Fb. Humas Buton Selatan)

Sejarah Mata Biru di Pulau Siompu

Menurut La Ode Yusri, peneliti budaya Sulawesi Tenggara, pelaut Portugis dalam misinya berburu rempah kepulauan Maluku di abad 16, mula-mula mereka melintasi jalur Utara, Pulau Mindanao (Filipina), tapi karena banyak perompak, mereka mengalihkan jalur pelayaran ke Selatan melalui Pulau Buton yang akhirnya jadi pulau persinggahan untuk mengisi perbekalan bagi pelaut Portugis yang menuju ke Maluku, seperti dikisahkan dalam naskah kuno Buton, Kanturuna Mohelana (Pelitanya Orang Berlayar).

Fase ini diperkirakan terjadi antara tahun tahun 1500-1600an atau saat Kesultanan Buton dibawah kepemimpinan Murhum atau Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537), La Tumparasi atau Sultan Kaimuddin (1545-1552), dan La Sangaji (1566-1570). 

Selain ikatan perkawinan, kedekatan Portugis dengan Kesultanan Buton juga terlihat dari kostum salah satu kompi pasukan kesultanan Buton yang yang dilengkapi dengan topi berbentuk cekung menjulang ke atas khas Portugis yang lazim disebut masyarakat Buton sebagai popongku.

Sayang, kemesraan armada Portugis dengan Kesultanan Buton akhirnya harus berakhir setelah datangnya bangsa Eropa lain yang dengan politik adu dombanya (devide et impera) berhasil memecah belah Kesultanan dan masyarakat Buton untuk mengamankan kepentingan dagang dan jalur pelayarannya di wilayah Buton.

Salah satu propagandanya adalah fitnah terhadap keturunan Portugis dalam hal ini tentunya termasuk pewaris Si-Mata Biru yang mereka sebut sebagai pengkhianat. 

Propaganda jahat itulah salah satu penyebab diaspora Si Mata Biru dan anak-anak hasil perkawinan Buton-Portugis lainnya ke beberapa wilayah, seperti Liya (Kabupaten Wakatobi), Ambon, bahkan hingga Malaysia.

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun