Banjar (Orang Banjar) dan juga sebagian besar Urang Banua (masyarakat) di Kalimantan Selatan dan sekitarnya yang sebagian besar banyak badiam (tinggal) di tepian sungai dan juga rawa.
Awal turunnya musim hujan dari bulan Desember hingga Februari merupakan saat-saat yang dinantikan oleh sebagian besar UrangBukan hanya sanggup mengurangi bahkan menghentikan teror mengerikan kabut asap, sesuai dengan siklusnya, tiap awal musim hujan sungai dan rawa di Kalimantan Selatan layaknya supermarket yang menyediakan berbagai jenis ikan yang bisa diambil dan dimanfaatkan kapan saja, tinggal pilih!
Terlebih untuk beragam jenis anakan ikan yang sepertinya belum lama menetas tapi mulai terlihat sempurna bentuknya. Biasanya, anak-anak ikan ini selalu terlihat berenang dengan cara berkerumun alias selalu berenang bareng-bareng dalam satu koloni sejenis dalam jumlah besar.
Iya, anak ikan! Setiap awal musim hujan dengan puncaknya di bulan Januari seperti saat ini, selalu menjadi musim berlimpahnya berbagai jenis anak ikan, mulai dari anak ikan haruan atau Ikan Gabus (channa striatus), ikan Sapat atau Sepat (trichogaster microlepis), ikan nila (Oreochromis niloticus), Sapat Siam (Trichopodus pectoralis ), Papuyu atau ikan betok/betik (Anabas testudineus ), Ikan lundu (Mystus ) dan lain-lainnya.
Baca Juga : Iwak Samu, Cara Unik Mengawetkan Ikan Segar Bercitarasa Juara Khas Urang Banjar
Para pemburu ikan di alam (sungai dan rawa) selain tetap berburu ikan dewasa, di awal musim hujan biasanya mereka juga akan berburu beragam jenis anakan ikan yang bertebaran di sungai atau rawa dengan cara ditangguk.
Beragam jenis anak ikan yang malang ini ditangkap para pemburu selain untuk dibesarkan di keramba, juga dipakai untuk umpan maunjun (memancing).
Tapi sebagian besarnya justeru dipakai sendiri atau dijual untuk bahan olahan beragam kuliner khas Urang Banua alias menjadi santapan yang lezat di meja makan Urang Banjar.
Umumnya, anakan ikan yang imut-imut ini oleh Urang Banua diolah menjadi olahan iwak samu, paisan atau pepes dan yang paling sederhana, simpel dan relatif mudah adalah dengan cara digoreng kering.
Bagi sebagian besar masyarakat banua di Kalimantan Selatan yang notabene merupakan orang sungai atau orang rawa yang setiap hari lebih banyak bersentuhan dengan berbagai hasil sungai, mengkonsumsi anakan ikan dengan cara diolah menjadi berbagai jenis masakan khas yang lezat bukanlah sekedar sebuah kebetulan semata.
Tapi telah menjadi kebutuhan yang karenanya bisa dikategorikan sebagai bagian dari tradisi budaya sungai/rawa yang telah lama menjadi identitas Urang Banjar, bagian terbesar dari Urang Banua.
Mata rantai perdagangan anakan ikan segar yang sebagian besar masih hidup ini dari tangan pemburu alias penangguk ikan biasanya akan berlanjut ke tangan pengepul yang kemudian mendistribusikannya kepada pedagang ikan di berbagai pasar-pasar tradisonal yang ada.
Inilah dilema alias buah simalakama yang sering dan selalu muncul setiap masuk musim pesta panen anak ikan di Banua Kalimantan Selatan di awal turunnya musim penghujan.
Urang Banjar maupun sebagian besar Urang Banua, selalu dihadapkan pada dua kenyataan bahwa tradisi kuliner turun-temurun urang Banua mengkonsumsi beragam anakan ikan dalam bentuk olahan kuliner khas nan lezat yang terlanjur telah berurat dan berakar tentu bukan perkara mudah untuk dibuang.
Sedangkan secara faktual menangkap dan memperdagangkan anakan ikan di wilayah Kalimantan Selatan merupakan perbuatan illegal dan melanggar hukum yang bisa dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 10 dan 11, serta ketentuan pidananya pasal 24, Perda Provinsi Kalsel Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan di Kalimantan Selatan yang secara eksplisit menyebutkan:
- Pasal 10 : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penangkapan anak-anak ikan yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk dikonsumsi maupun diperdagangkan untuk pakan ikan.
- Pasal 11 : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan jual beli anak-anak ikan hasil tangkapan.
- Pasal 24 : Setiap orang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
Karena peraturan daerah ini diterbitkan di level Propinsi, maka peraturannya mengikat pada semua masyarakat di wilayah kabupaten yang masuk wilayah Propinsi Kalimantan Selatan.
Walaupun begitu, ternyata ada beberapa kabupaten di lingkungan Kalimantan Selatan yang menerbitkan sendiri lebih detail aturan dimaksud, seperti di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dengan Perda No. 16 Tahun 2011 tentang perlindungan sumber daya ikan.
Dari sinilah munculnya lingkaran setan polemik berkepanjangan yang terus mengemuka menghantui berbagai pihak terkait kelestarian, ketercukupan serta ketersediaan populasi ikan konsumsi bernilai ekonomi tinggi khususnya ikan haruan atau Ikan Gabus (channa striatus) dan Papuyu atau ikan betok/betik (Anabas testudineus) di alam Kalimantan Selatan yang dikeluhkan banyak kalangan relatif semakin susah didapatkan.
Sehingga pada waktu-waktu tertentu sering ikut berperan dalam mengguncang eskalasi perekonomian lokal dan regional Kalimantan Selatan dan Kalimantan.
Pertanyaannya, masak iya para tetuha bahari (nenek moyang) meninggalkan warisan budaya (kuliner) yang tidak bersahabat atau tidak ramah dengan ekosistem alam dan lingkungan?
Bisa iya, bisa tidak! Tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Secara logika kemungkinan terbesar, para tetuha bahari dahulu terbiasa memanfaatkan anakan ikan untuk dikonsumsi karena beberapa sebab, produksi anakan yang masih melimpah ruah karena populasi indukan ikan yang juga melimpah, karena keseimbangan ekosistem alam masih terjaga, apalagi daya dukung lingkungan jaman bahari (dulu) pasti lebih memadai.
Sedangkan populasi manusia bahari sebagai predator puncak tentunya juga belum sepadat seperti sekarang plus alat menangkap anakan ikannya yang masih tradisional pasti berpengaruh pada kuantitas hasil tangkapan .
Tentu situasi tersebut diatas berbanding sangat terbalik dengan situasi dan kondisi sekarang! Urang Banua sekarang dengan bangga cenderung hanya mewarisi resep kuliner-nya saja, tapi tidak dengan kearifan lain yang menyertai atau menjadi larat belakang terciptanya tradisi kuliner khas berbahan anakan ikan tersebut.
Faktanya, meskipun jelas-jelas dilarang, penangkapan dan perdagangan anakan ikan berbagai jenis masih saja marak terjadi di Banua Kalimantan Selatan.
Buktinya, di beberapa pasar tradisonal jual beli anakan ikan tampak dilakukan dengan cara terang-terangan meskipun tetap dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Celakanya lagi, disaat bersamaan rawa-rawa yang selama ini menjadi habitat dari berbagai ikan ini banyak yang telah dikonversi atau dirubah fungsinya menjadi pemukiman dan yang lainnya.
Untuk urusan harga memang tidak ada patokan resmi, karena semua ditentukan oleh ketersediaan “barang”-nya. Umumnya anak ikan dijual dengan takaran, bisa dengan ukuran per-gelas, loyang atau per-kilo.
Umumnya harga anak ikan campur dijual antara 50-100 ribuan/kilo dan 10-20ribuan/gelas. Biasanya yang menjadi primadona tetap saja, anakan ikan haruan atau Ikan Gabus (channa striatus) dan Papuyu atau ikan betok/betik (Anabas testudineus) yang biasanya persediannya juga sangat terbatas, sehingga harganya menjadi semakin lebih mahal dibanding yang lainnya!
Penangkapan dan penjualan anakan ikan untuk keperluan konsumsi ini tetap berlangsung dan terus terjadi meskipun aturan hukum secara berlapis dari provinsi ke daerah telah diterbitkan, juga berbagai penyuluhan, operasi dan juga razia yang terus dilakukan tanpa henti.
Kok bisa!? Jawabannya, karena tingginya permintaan di pasar (masyarakat). Di sinilah berlaku hukum demand dan supply atau adanya barang karena adanya permintan. Ini faktual!
Uniknya, di level masyarakat banua sendiri dan lebih spesifik di Urang Banjar sendiri, tidak semua sepakat dan menerima kebiasaan menangkap anakan ikan secara massive setiap tiba awal musim penghujan ini.
Meskipun diantaranya mungkin tetap saja merasa nyaman menikmati kuliner berbahan anakan ikan semacam paisan anak ikan dan juga pakasam atau Iwak Samu.
Selain kalangan akademisi dan pemerhati/penggiat lingkungan umumnya kalangan yang menolak eksploitasi anakan ikan ini adalah para pemairan (pemancing dengan joran bambu panjang) dan juga petani atau penggarap sawah di rawa lebak yang disela-sela menggarap atau memelihara tanaman padinya juga biasa menangkap ikan di area sawahnya yang melimpah.
Sampai kapan kuliner berbahan anak ikan ini terhidang di meja makan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H