Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sampai Kapan Tradisi Kuliner Berbahan Anak Ikan Tersedia di Meja Makan Urang Banjar?

18 Januari 2020   22:58 Diperbarui: 19 Januari 2020   17:32 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sinilah munculnya lingkaran setan polemik berkepanjangan yang terus mengemuka menghantui berbagai pihak terkait kelestarian, ketercukupan serta ketersediaan populasi ikan konsumsi bernilai ekonomi tinggi khususnya ikan haruan atau Ikan Gabus (channa striatus) dan Papuyu atau ikan betok/betik (Anabas testudineus) di alam Kalimantan Selatan yang dikeluhkan banyak kalangan relatif semakin  susah didapatkan.

Sehingga pada waktu-waktu tertentu sering ikut berperan dalam mengguncang eskalasi perekonomian lokal dan regional Kalimantan Selatan dan Kalimantan. 

Pertanyaannya, masak iya para tetuha bahari (nenek moyang) meninggalkan warisan budaya (kuliner) yang tidak bersahabat atau tidak ramah dengan ekosistem alam dan lingkungan?

Bisa iya, bisa tidak! Tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Secara logika kemungkinan terbesar, para tetuha bahari dahulu terbiasa memanfaatkan anakan ikan untuk dikonsumsi karena beberapa sebab, produksi anakan yang masih melimpah ruah karena populasi indukan ikan yang juga melimpah, karena keseimbangan ekosistem alam masih terjaga, apalagi daya dukung lingkungan jaman bahari (dulu) pasti lebih memadai.

Sedangkan populasi manusia bahari sebagai predator puncak tentunya juga belum sepadat seperti sekarang plus alat menangkap anakan ikannya yang masih tradisional pasti berpengaruh pada kuantitas hasil tangkapan .

Tentu situasi tersebut diatas berbanding sangat terbalik dengan situasi dan kondisi sekarang! Urang Banua sekarang dengan bangga cenderung hanya mewarisi resep kuliner-nya saja, tapi tidak dengan kearifan lain yang menyertai atau menjadi larat belakang terciptanya tradisi kuliner khas berbahan anakan ikan tersebut. 

Jual-beli Anakan Ikan di Pasar (dokpri)
Jual-beli Anakan Ikan di Pasar (dokpri)

Faktanya, meskipun jelas-jelas dilarang, penangkapan dan perdagangan anakan ikan berbagai jenis masih saja marak terjadi di Banua Kalimantan Selatan. 

Buktinya, di beberapa pasar tradisonal jual beli anakan ikan tampak dilakukan dengan cara terang-terangan meskipun tetap dengan kewaspadaan tingkat tinggi. 

Celakanya lagi, disaat bersamaan rawa-rawa yang selama ini menjadi habitat dari berbagai ikan ini banyak yang telah dikonversi atau dirubah fungsinya menjadi pemukiman dan yang lainnya.

Untuk urusan harga memang tidak ada patokan resmi, karena semua ditentukan oleh ketersediaan “barang”-nya. Umumnya anak ikan dijual dengan takaran, bisa dengan ukuran per-gelas, loyang atau per-kilo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun