Ternyata, saya salah sangka! Lama kelamaan, setelah pergaulan dan juga persentuhan saya dengan masyarakat Banjar semakin luas, saya baru menyadari adagium di atas ternyata memang benar-benar gambaran faktual dari lingkungan sosial masyarakat Banjar.
Woooow, Istri empat?
Bukan masalah istri empatnya yang menarik perhatian saya, tapi lebih pada konsep poligami yang ternyata telah lama dianggap biasa dalam kultur masyarakat Banjar, sehingga respon masyarakat umumnya juga terlihat biasa-biasa saja ketika harus bersentuhan dan berinteraksi dengan fakta poligami di sekitar mereka.
Menariknya lagi, konsep poligami yang telah dianggap lumrah dalam kultur masyarakat Banjar tersebut ternyata juga membawa budaya baru yang dikenal masyarakat sebagai kawin badadiaman atau mungkin ada yang mengenalnya sebagai nikah siri atau nikah bawah tangan, yaitu nikah yang dalam terminologi Arab dimaknai sebagai nikah rahasia atau sesuatu yang tidak banyak diketahui khalayak dan biasanya tidak tercatat secara resmi.
Tidak heran jika kemudian budaya kawin badadiaman dan poligami seakan menjadi bagian dari kultur masyarakat Banjar.
Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana bisa poligami dan kawin badadiaman menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap biasa bahkan berakar kuat dalam kultur masyarakat Banjar?"
Menurut peneliti senior sekaligus pemerhati budaya Banjar yang juga dosen Fakultas Tarbiyah, UIN Antasari Banjarmasin, Humaidy yang lebih dikenal dengan nama pena Ibnu Sami ini, "Khusus untuk budaya poligami, dari catatan sejarah menunjukkan sudah tertanam begitu kuat dalam tradisi masyarakat Banjar dan sampai sekarang sepertinya susah untuk dicabut."
Faktanya, Kesultanan Banjar sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Kalimantan, hampir semua sultannya (raja) dan pangeran berpoligami, seperti Pangeran Abdurrahman yang mempunyai istri berdarah Banjar yang melahirkan Sultan Hidayatullah dan istri yang berdarah Cina melahirkan Sultan Tamjidillah.Â
Begitu juga dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, ulama besar Kesultanan Banjar yang dikenal sebagai Matahari Islam tercatat mempunyai istri lebih dari satu.
Sudah menjadi rahasia umum jika dalam kultur masyarakat Banjar, tuan guru atau ulama merupakan panutan paling berpengaruh, bahkan jauh lebih berpengaruh dibandingkan kelompok umara atau yang lainnya.
Jadi, wajar saja jika kemudian praktik poligami menjadi sesuatu yang biasa bahkan tumbuh dan berkembang tidak saja pada kelas elite (ulama, bangsawan, dan para saudagar), tapi juga berkembang secara luas di level arus bawah dalam masyarakat Banjar.Â