Sudah seminggu ini setiap tidak ada jadwal kuliah, Nana selalu mengajakku untuk berkeliling Kota Jember, kota kecil di ujung timur Pulau Jawa yang setiap musim hujan selalu memberikan hawa dingin menusuk tulang, seperti saat ini.
Entah angin apa yang membuatnya ingin menapaktilasi kembali tempat-tempat “bersejarah” saksi bisu kebersamaan kami selama hampir empat tahun terakhir, kedai jagung bakar Cak No di samping Bank Mandiri Alun-alun, Bakso Sorlem Pak Samino di Gebang, juga puncak gumuk kerang yang banyak ditumbuhi pohon jambu mete itu.
Tidak hanya itu, kalau nggak kepanasan atau kehujanan kami bisa mengukur jalan sampai ke Taman Galaxy dan juga dataran tinggi Rembangan, sekedar singgah sebentar mengingat kenangan yang kami ukir disitu, lalu kembali lagi menyusuri jalanan mengambil arah jalan berbeda dengan saat berangkat.
Uniknya, Nana selalu minta untuk memulai napak tilas dari Masjid Jami Al Baitul Amin, masjid terbesar dan paling terkenal di Kota Tembakau yang mempunyai tujuh kubah dengan bentuk sangat unik, tempat pertama kali kami bertemu!
Saat itu, Nana dan keluarganya pertama kali berkunjung ke Kota Jember untuk mengantarkan Nana mendaftar ulang di UNEJ alias Universitas Negeri Jember, karena Nana diterima kuliah di Administrasi Niaga di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Kebetulan, saat mereka mulai memasuki jantung Kota Jember, azan maghrib berkumandang di langit yang sepertinya mulai dikuasai rona kehitaman dan sore itu, akhirnya hujan yang sangat lebat mengguyur bumi.
Sedangkan aku, saat itu baru saja pulang dari mengisi materi LK I atau latihan kader dasar bagi adik-adik mahasiswa yang baru bergabung dalam organisasi eksternal kemahasiswaan di salah satu Pondok Pesantren di kawasan Desa Jenggawah.
Karena sebentar lagi masuk waktu sholat Maghrib dan kebetulan mendung hitam begitu pekat menggantung di langit Kota Jember, aku membelokkan setang “Si Kupang” alias si Kuda Jepang, motor tua rakitan akhir 80-an warisan simbah itu ke Masjid Jami Al Baitul Amin.
Di tempat penitipan sandal, aku melihat seorang bapak-bapak dengan perawakan tinggi besar dengan rambut agak panjang, tampang dan gayanya sih sekilas mirip Bucek, itu lho artis keren yang selalu tampil dengan gaya khas rambut gondrong di era 90-an. Beliau sepertinya sedang bertanya tentang penginapan kepada penjaga penitipan sandal yang biasa aku sapa dengan panggilan akrab Cak di atau Cak Pardi tersebut.
Cak Pardi yang sepertinya kebingungan karena kurang paham perihal penginapan di Kota Jember, dia yang tadi melihat kelebatan saya langsung memanggil saya sekaligus memperkenalkan saya kepada si Bapak.