Dominasi atlet-atlet pencak silat Indonesia pada event Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta-Palembang beberapa saat yang lalu, ternyata memberi efek domino yang cukup bagus bagi "popularitas" seni bela diri asli dari Indonesia ini.
Popularitas pencak silat sebagai cabang olahraga pendulang medali emas terbanyak langsung “meroket”. Di mana-mana, pencak silat menjadi trending topic obrolan masyarakat.
Semoga situasi ini bukan sekedar euforia sesaat layaknya peribahasa hangat-hangat tahi ayam! Setelah hilang hangatnya, hanya bau busuknya saja yang tertinggal he…he…he…
Membahas tema pencak silat, mengingatkan saya pada salah satu seni bela diri tua khas banua Banjar yang biasa kami sebut dengan Kuntau, sebagian ada juga yang menyambat (menyebut) Kuntao dan Kuntaw.
Sayang, seni bela diri yang konon berasal dari daratan Tiongkok ini, dari tahun ke tahun popularitasnya di banua Banjar, Kalimantan Selatan semakin menurun. Bahkan di seputar Kota Banjarmasin dan sekitarnya, meskipun masih ada perguruan yang mendalami seni bela diri Kuntau ini, tapi kondisinya memang tidak lebih dari hidup segan mati tak mau! Aktifitas perguruan ini rata-rata tidak pernah terekspos, sehingga nyaris tidak pernah terdengar lagi geliatnya.
Kondisi lebih baik sepertinya bisa ditemui di beberapa daerah yang posisinya agak ke pedalaman seperti di daerah Marabahan, Barito Kuala serta di daerah pahuluaan atau daerah Banua Anam yang meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong.
Mengenal Kuntau
Kuntau, sebagian ada yang menyebut dengan Kuntao atau Kuntauw, secara harfiah berarti "jalan kepalan" tapi sebagian besar menterjemahkan sebagai "seni pertempuran".
Sejauh ini, seni bela diri yang berkembang di masyarakat Melayu Asia Tenggara, khususnya Malaysia (Sabah dan Sarawak di Pulau Kalimantan), Indonesia, Singapura dan Filipina ini dikenal berasal dari daratan Tiongkok.
Ada dua teori terkait keberadaan Kuntau sebagai bela diri khas masyarakat Melayu. Pertama, Kuntau lahir di Tiongkok dan menyebar ke Asia Tenggara karena di bawa oleh para imigran dari daerah Cina Selatan, sedang teori Kedua, Kuntau memang lahir dan besar di Asia Tenggara dari rahim komunitas Tionghoa di Asia Tenggara.
Salah satu keunikan Kuntau yang paling menonjol adalah sifat eklektik (bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber) yang memungkinkan Kuntao bersifat adaptif terhadap lingkungan sekitar. Dengan begitu Kuntau tidak mempunyai bentuk yang baku, bisa hidup dan berkembang dimanapun berada.
Sebagai contoh, Gaya atau jurus Kuntau akhirnya sangat fleksibel sehingga bisa disesuaikan dengan “medan” di mana Kuntau berkembang, bahkan untuk senjata.