Waktu duduk di bangku SD dan SMP di era 80-an sampai awal 90-an, ada salah satu mata pelajaran yang paling saya tunggu jadwal kehadirannya dibanding pelajaran-pelajaran yang lainnya, yaitu pendidikan Keterampilan.Â
Saat itu, saya benar-benar dibuat terpesona oleh bapak atau ibu guru yang mengisi pelajaran. Di mata saya saat itu, mereka layaknya tokoh superhero yang bisa membuat alat atau peralatan apa saja yang dia mau dari bahan-bahan "remeh" yang ada disekitar kita. Saat itu saya beranggapan, merekalah orang-orang hebat yang sebenarnya! mereka layaknya tukang sulap yang bisa mengubah sebuah benda menjadi benda lain dalam sekejap. benar-benar serba bisa! yang secara nyata bisa saya lihat wujudnya, baik orangnya (pembuatnya) maupun produk yang dibuatnya.Â
Bagaimana tidak, bapak atau ibu guru saya waktu itu dengan mudahnya bisa membuat patung kuda dari tanah yang dicampur air dari belakang sekolah, membuat pigura dari bahan lilin yang dilelehkan dan dicampur semen, membuat keset dari sampah sabut kelapa bahkan dari potongan sandal jepit bekas tidak terpakai yang diambil dari tong sampah, membuat sulak atau kemocing dari bulu ayam yang diminta dari tukang soto atau tali rafia dan yang paling membuat saya takjub adalah ketika kami saat itu diajari membuat mobil-mobilan, asbak, kap lampu, miniatur dokar, masjid, berbagai binatang sampai pistol-pistolan dari bahan triplek atau plywood bekas bahan bangunan. Hebat kan?
Karena lebih sering diberi tugas secara berkelompok, maka secara otomatis media tugas ketrampilan tangan ini menjadi ajang silaturahmi dengan mengenal lebih jauh masing-masing teman sekolah, mengenal keluarganya, mengetahui alamat dan lokasi rumahnya (biasanya tugas dikerjakan dirumah masing-masing anggota kelompok secara bergantian sampai selesai).Â
Sekarang, jaman memang telah berubah!Â
Konsep pendidikan keterampilan di sekolah seperti yang saya dapatkan waktu duduk di sekolah dasar dan menengah sepertinya sudah tidak populer lagi, bahkan sepertinya telah hilang dari peredaran. Sekarang anak-anak SD dan SMP hampir tidak mengenal lagi cara membuat sulak, keset atau bentuk-bentuk kretifitas lainnya (terutama di daerah saya, entah di daerah lain).Â
Memang, sulak atau keset mungkin sekarang selain relatif murah dan mudah didapat juga sudah banyak industri skala besar yang membuatnya, sehingga sepertinya secara ekonomis sudah tidak layak lagi diperkenalkan (lagi) apalagi diproduksi secara masal oleh masyarakat atau mungkin karena perannya sudah tidak terlalu signifikan lagi dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, akibat munculnya berbagai produk teknologi modern yang syarat inovasi dan lebih praktis? Sehingga cara membuatnya tidak perlu lagi diajarkan kepada anak-anak penerus bangsa? Bisa jadi!Â
Bernostalgia dengan berkreasi