Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Wamentan Baru dan Target 10 Juta Ton Beras

18 Oktober 2011   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:48 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam beberapa hari belakangan ini, dua momen penting menyambangi kita, yakni hari pangan dunia pada 16 Oktober dan hari pengentasan kemiskinan dunia pada 17 Oktober. Dua momen penting ini mengingatkan kita terhadap dua permasalahan mendasar yang tengah dihadapi negeri ini, yakni pangan dan kemiskinan.

Soal kemiskinan, Indonesia masih dihadapkan pada jumlah penduduk miskin yang masih tinggi. Dengan menggunakan standar BPS pun, yang seringkali menuai kritik karena batas/garis kemiskinannya yang dinggap terlalu rendah, orang miskin di negeri ini masih 30,02 juta, lebih banyak dari penduduk Malaysia yang hanya 28 juta. Itupun, belum ditambah penduduk hampir miskin yang jumlahnya 27,12 juta, di mana kondisi mereka sehari-hari sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.

Angka kemiskinan sebesar 30,02 juta sebenarnya adalah potret kondisi Maret 2011. Saat ini, angka tersebut bisa saja berubah. Dugaan saya, saat ini jumlah penduduk miskin kemungkinan besar bertambah. Gejolak harga beras belakangan ini merupakan indikasi kuat akan hal itu. Kontribusi beras terhadap pembentukan garis kemikinan (GK) cukup tinggi, yakni sekitar 34 persen. Karena sebagian besar pendapatan penduduk miskin dan hampir miskin digunakan untuk membeli beras.

Soal pangan, saat ini Indonesia masih menjadi importir pangan tropis terbesar di dunia.Tahun ini saja, tak kurang 45 triliun lebih telah digelontorkan untuk mengimpor segala rupa produk pangan─mentah dan olahan─mulai dari beras hingga singkong. Itu artinya, meskipun katanya negara agraris, kenyataannya Indonesia belum memiliki kemandirian dan berdaulat dalam hal pangan.

Dalam jangka pendek ini─hingga akhir pemerintahan SBY─terkait pangan, persoalan beras adalah yang perlu segara diselesaikan. Sejak terakhir 2008, kita tidak pernah lagi swasembada, sehingga semakin bergantung pada beras impor.

Tahun ini misalnya, meskipun data statistik menunjukkan produksi beras nasional surplus, kondisi ini belum mampu menjamin stabilnya harga beras di pasaran. Sejak Juli lalu hingga kini, harga beras terus naik. Bahkan, diperkirakan akan menembus Rp 9.400 pada Januari tahun depan. Gejolak harga beras ini menjadikan Bulog semakin agresif melakukan impor beras.

Total beras impor yang telah dimasukkan Bulog tahun ini mencapai 1,5 juta ton. Angka ini merupakan hasil penjumlahan 700 ribu ton beras yang telah dipesan tahun 2010 lalu dan 800 ribu ton beras asal Thailand dan Vietnam yang masuk tahun ini. Impor sebanyak 1,5 juta ton beras ini telah menguras devisa yang tidak sedikit, diperkirakan sekitar 7 triliun hingga 9 triliun rupiah.

Dan sepertinya, impor sebesar 1,5 juta ton belum cukup untuk menjamin stabiltas harga beras di pasaran yang terus merangkak naik. Sehingga dipastikan, Bulog akan kembali mengimpor beras untuk memperkuat stoknya.

Akurasi Data Lemah

Persoalan beras ini telah menjadi salah satu fakos dalam perombakan kabinet yang dilakukan oleh presiden SBY. Untuk munyukseskan progrom Surplus Beras 10 Juta Ton pada tahun 2014-2015, SBY menunjuk teman seangkatannya saat menempuh pendidikan doktoral dalam bidang Ekonomi Pertanian di IPB, Rusman Heriawan.

Rusman yang saat ini masih menjabat sebagai kepala BPS ditunjuk oleh SBY untuk membantu menteri pertanian, dengan pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014-2015 sebagai tugas utamanya. Sesuatu yang tentu tidak ringan, mengingat tantangan perberasan saat ini yang kian berat.

Sebagian orang beranggapan, penunjukkan Rusman sebagai Wamentan lebih dikarenakan keberhasilannya dalam ‘menurunkan’ angka kemiskinan. Maklum, selama Rusman menjadi kepala BPS─sejak 2006, angka kemiskinan terus turun secara konsisten. Sesuatu yang tentu amat menguntangkan bagi politik pencitraan SBY. Dengan lain perktaan, mereka yang beranggapan seperti ini telah menuduh Rusman dan instansinya─BPS─ telah merekayasa angka kemiskinan untuk mendukung pencitraan SBY.

Anggapan di atas tentu saja tidak benar. Karena dengan menggunakan indikator dari lembaga apapun, kenyataannnya angka kemiskinan terus menurun selama lima tahun terakhir. Angka kemiskinan Bank Dunia─yang menggunakana garis kemiskinan 1,25 dollar PPP dan 2 dollar PPP─misalnya, menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir angka kemiskinan di Indonesia terus menurun, bahkan dengan persentase penurunan yang lebih tajam bila dibandingkan dengan data-data BPS.

Alasan penunjukkan Rusman sebagai Wamentan, saya kira, akan lebih menarik jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa akurasi data-data untuk mendukung Program Surplus 10 Juta Ton beras saat ini yang masih belum memuaskan. Jika memang data produksi dan konsumsi beras yang dihitung oleh BPS saat ini benar-benar akurat, maka tahun ini impor beras seharusnya tidak dilakukan.

Pada tahun ini, BPS memperkirakan produksi padi nasional bisa mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 0.57, itu artinya produksi beras tahun ini bisa mencapai 38,8 juta ton. Padahal menurut BPS, saat ini konsumsi beras penduduk Indonesia sebesar 113,48 kg/kapita/tahun, atau dengan kata lain, konsumsi beras sekitar 240 juta penduduk Indonesia tahun ini hanya 27,2 juta ton. Dengan demikian, berdasarkan data-data ini, kita seharusnya tidak perlu menunggu sampai tahun 2014-2015 untuk surplus 10 juta ton beras, karena tahun ini produksi beras nasional surplus lebih dari 10 juta ton.

Jika angka-angka di atas benar-benar akurat, harga beras sudah tentu akan stabil, tidak seperti saat ini yang terus melambung. Harga beras yang kian melambung merupakan indikasi kuat langkanya beras di pasaran. Sesuatu yang tentu sangat paradoks dengan angka-angka di atas.

Namun patut untuk dicatat, tidak sejalannya angka-angka BPS di atas dengan pergerakan harga beras saat ini bukan karena angka-angka tersebut direkayasa, tetapi lebih disebabkan oleh akurasinya yang belum memuaskan. Dari sisi metodologi, penghitungan angka-angka di atas masih perlu disempurnakan. Dan saya kira, hal ini merupakan salah satu alasan utama penunjukkan Rusman sebagai Wamentan. Data produksi dan konsumsi beras yang ada saat ini belum bisa menjadi pijakan kokoh, khususnya untuk mendukung suksesnya Program 10 Juta Ton Beras pada 2014-2015 nanti.

*****

Kadir Ruslan : Bekerja di BPS. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Data-data dari BPS.

Note: Angka produksi sebesar 68,06 juta ton adalah Angka Ramalam II (ARAM). Angka ini belum final dan masih memiliki kemungkinan berubah. Pada November nanti, BPS akan kembali merilis angka produksi padi. Angka yang baru ini disebut Angka Ramalan III (ARAM III) yang kemungkinan lebih rendah dari ARAM II, karena gagal panen yang terjadi secara luas di sejumlah sentra produksi padi nasional belakangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun