Saya kira, semua orang setuju kalau Taufik Hidayat adalah salah satu legenda di antara sederet legenda bulutangkis Indonesia. Karenanya, tidak berlebihan dan saya kira pantas kalau namanya disejajarkan dengan Rudi Hartono dan Leem Swie King.
Prestasi Taufik boleh dibilang sangat komplit jika dibanding dengan pemain dan mantan pemain bulutangkis Indonesia lainnya. Menantu Agum Gumelar ini telah menjuarai berbagai ajang turnamen dalam berbagai level. Dan puncak kiriernya adalah ketika dia kembali meneguhkan tradisi emas Indonesia di ajang Olimpiade ketika menghempaskan Seung Mo Shon dari Korea Selatan di Olimpiade Athena 2004 silam.
Bahkan, tidak lama setelah itu, tepatnya pada Agustus 2005, Taufik berhasil menjadi juara dunia dengan menundukkan pemain andalan China, Lin Dan, di babak final World Championship yang kala itu dihelat di Amerika Serikat. Dengan capain itu, Taufik menjadi pemain tunggal pertama di dunia yang memegang gelar juara dunia dan peraih medali emas olimpiade.
Tak seperti dulu lagi
Meskipun tidak lagi bergabung dalam Pelatnas Cipayung, hingga saat ini, Taufik masih menjadi pemain tunggal putra andalan untuk mengharumkan nama Indonesia di berbagai ajang superseries. Berdasarkan hasil pemeringkatan federasi bulutangkis dunia, World Badminton Federation (BWF), Taufik menjadi pemain tunggal putra Indonesia dengan peringkat tertinggi dengan bercokol di peringkat ke lima.
Namun sayangnya, kini, kejayaan Taufik yang sudah tidak muda lagi itu ─ kini telah menginjak 30 tahun─kian meredup. Sepanjang tahun ini saja, Taufik belum pernah sekali pun merai gelar juara dari turnamen yang diikutinya. Kita maklum, ini adalah suatu keniscyaan bagi seorang atlet yang sudah tidak muda lagi seperti dia. Taufik memang sudah tidak seperti dulu lagi. Masa-masa jayanya telah lewat.
Dalam turnamen Jepang Terbuka Superseries, Rabu (21/9), misalnya, Taufik kembali tak berdaya. Langkahnya kandas di babak pertama setelah takluk dari pebulutangkis tak ternama asal Taiwan, Chou Tien Chen, dengan rubber game 17-21, 21-12, 18-21. Usai kekalahannya, sang legenda yang sudah tak perkasa lagi itu bertutur
“Saya tidak mampu bermain dengan baik. Saya tidak mampu menyerang dan kehilangan kepercayaan diri. Saya kehilangan kenikmatan bermain seperti masa lalu. Saya ingin mengembalikan kondisi. Namun, saya tidak tahu sampai berapa lama saya masih akan bertahan.”
Mencari pengganti Taufik
Sepertinya apa yang disampaikan Taufik di atas merupakan isyarat kalau dia bakal segera “gantung raket” atau pensiun sebagai atlet bulutangkis. Jika demikian adanya, maka dapat dipastikan dalam beberapa tahun ke depan di nomor tunggal putra, Indonesia tidak akan bisa berbicara banyak di berbagai ajang internasional. Dan ini adalah sebuah kemunduran yang patut disayangkan untuk sebuah negara bulutangkis sekaliber Indonesia.
Karenanya, saat ini, Indonesia butuh taufik-taufik muda, dan regenerasi pemain adalah jawabannya. Itulah yang telah dilakukan China, seteru abadi Indonesia. Sehingga tidak mengherankan, mereka terus perkasa di berbagai ajang internasional hingga kini.
Khusus di nomor tunggal putra, regenerasi boleh dibilang mandek. Ini bisa dilihat pada hasil pemeringkatan BWF. Selain Taufik, tak ada satu pun pemain tunggal putra Indonesia yang bercokol di peringkat 10 besar dunia. Padahal Taufik sudah terlalu tua. Umurnya sudah kepala tiga, sehingga sulit bagi kita untuk berharap banyak lagi darinya.
Hal ini adalah tantangan berat buat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan para pemerhati bulutangkis di negeri ini. PBSI harus fokus dan serius pada program pembinaan pemain usia muda, bukannya hanya sibuk dengan konflik internal.
Selain itu, para pemain muda (junior) hendaknya diberi kesempatan lebih berlaga diberbagai event internasional, baik kejuaraan dunia maupun super series. Sehingga mereka memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi, serta mental bertanding yang handal.
Tanpa regenerasi pemain, dapat dipastikan, kejayaan bulutangkis Indonesia yang kini semakin meredup akan ambruk.
Tradisi emas di Olimpaide
Berbicara olahraga, sepertinya hanya bulutangkis satu-satunya yang bisa membuat Indonesia begitu disegani di kancah internasional. Di ajang Olimpiade misalnya, olahraga tepok bulu ini menjadi satu-satunya harapan Indonesia untuk meraih medali emas, menjadikan lagu Indonesia Raya bisa berkumandang pada perhelatan pesta olah raga bangsa-bangsa sedunia itu.
Sejak pertama kali dipertandingkan di Olimpiade Barcelona pada tahun 1992, bulutangkis menjadi satu-satunya cabang olahraga yang selalu memberikan emas buat Indonesia. Tradisi emas dimulai pertama kali oleh Alan Budikusuma dan Susy Susanti ketika mengawinkan emas untuk nomor tunggal putra dan putri di Olimpiade Barcelona, kemudian dilanjutkan oleh pasangan ganda putra Ricky Soebagja/Rexy Mainaky empat tahun kemudian di Atlanta (1996), dilanjutkan lagi oleh pasangan ganda putra Candra Wijaya/Tony Gunawan di Sidney (2000), tunggal putra Taufik Hidayat di Athena (2004), dan terkahir tradisi emas kembali dipertahankan oleh pasangan ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan di Olimpiade Beijing pada 2008 silam.
Sebenarnya jauh sebelum dipertandingkan di Olimpiade, Indonesia telah lama merajai olahraga yang satu ini. Sejak dekade 60 an, Indonesia telah menjadi salah satu raksasa bulutangkis dunia selain Cina, Malaysia, Korea dan Denmark.
Siapa yang tak kenal dengan Rudy Hartono, salah satu legenda bulutangkis Indonesia−bahkan dunia− Juara All England sebanyak 8 kali itu (1968-1974 dan 1976). Begitupula dengan Liem Swie King yang begitu kondang dengan lesatan King’s Smash-nya itu. Raihan 13 kali juara Piala Thomas−supremasi tertinggi beregu putra−sejak pertama kali dihelat pada tahun 1949 cukuplah menjadi bukti akan kedigdayaan Indonesia di panggung bulutangkis dunia sejak dulu.
Namun sangat disayangkan, sejak beberapa tahun terakhir, prestasi bulutangkis Indonesia boleh dibilang kian memudar. Rasanya, sudah sangat sulit bagi para pemain kita untuk menjadi yang terbaik pada berbagai event internasional. Lihat saja saat perhelatan Indonesia Open beberapa waktu lalu di Istora Senayan, tak satupun pemain kita yang naik ke podium sebagai yang terbaik. Padahal, kejuaraan tersebut dihelat di kandang kita. Belakangan ini, kita selalu dipecundangi oleh Cina dengan begitu mudahnya. Sesuatu yang dulu hampir, bahkan tidak pernah terjadi.
Kini, tak satupun pemain kita yang menjadi juara dunia atau juara All England. Tengok saja daftar peringkat pemain di berbagai nomor yang baru saja dirilis oleh Federasi Bulutangkis Dunia (BWF). Tak satupun pemain Indonesia yang menjadi pemain terbaik di nomornya. Berdasarkan hasil pemeringkatan BWF (15/9), peringkat paling tinggi untuk pemain Indonesia diraih oleh pasangan ganda campuran Tantowi Ahmad/Lilyana Natsir (ke 2 dunia), di susul tunggal putra Taufik Hidayat (ke 5 dunia).
Begitu pula di nomor beregu, Piala Thomas dan Uber, serta Piala Sudirman sepertinya begitu sulit untuk dimenangkan. Piala Thomas misalnya, sejak dihelat pada 2002 silam di Guangzhou, Cina−kala itu, Indonesia berhasil menundukkan Cina di final dengan skor tipis 3-2−tak pernah lagi sekalipun singgah di Indonesia. Padahal sebelumnya, kita sudah pernah merebutnya sebanyak 13 kali. Piala Sudirman apalagi. Piala yang namanya diambil dari nama tokoh perbulutangkisan nasional Dick Sudirman itu, hanya sekali mampir ke Indonesia, yaitu ketika pertama kali dihelat pada tahun 1989 di Jakarta. Setelah itu, kita tidak pernah sekalipun memenangkannya.
Kalau sudah seperti ini, bisa-bisa lagu Indonesia Raya bakal tidak terdengar lagi pada perhelatan Olimpiade. Karena dari cabang olahraga inilah satu-satunya asa Indonesia untuk memperoleh medalai emas. Dan jangan sampai tradisi emas itu berhenti di Olimpiade London nanti.
******
Sumber tulisan Kompas.com, wikipedia, http://www.bwfbadminton.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H