Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Salah Kaprah Soal Urbanisasi

5 Agustus 2014   22:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:20 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pasca-Lebaran, Jakarta selalu dibanjiri para pendatang baru dari daerah, yang kepincut gemerlap ibu kota. Tahun ini diperkirakan warga baru Jakarta yang datang bersamaan dengan arus balik lebaran bakal mencapai 68 ribu orang. Sekitar 60 persen di antaranya diperkirakan bakal menetap secara permanen (Koran Tempo, 4 Agustus).

Umumnya, para pendatang baru tersebut memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota karena ajakan, atau terpengaruh cerita sukses dari teman/kerabat yang sudah lebih dulu merantau ke Ibu Kota. Dalam literatur demografi, pola migrasi seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration).

Dalam bahasa sehari-hari, kata urbanisasi juga sering dipakai untuk menjelaskan arus pendatang baru ke Jakarta. Sebetulnya, penggunaan kata urbanisasi dalam konteks ini kurang tepat. Mengapa demikian?

Dalam literatur demografi atau kependudukan, kata urbanisasi didefinisikan sebagai proses bertambahnya jumlah atau proporsi penduduk yang mendiami wilayah perkotaan. Penambahan proporsi ini dapat disebabkan dua hal. Pertama, perluasan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi karena perluasan wilayah kota atau daerah-daerah yang semula pedesaan tumbuh dan berkembang menjadi perkotaan. Kedua, migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Dalam prakteknya, status suatu daerah, apakah termasuk pedesaan atau perkotaan, ditentukan berdasarkan sebuah indeks khusus. Indeks tersebut dihitung dengan menggunakan tiga variabel, yakni kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses terhadap fasilitas umum.

Karena itu, berdasarkan definisi urbanisasi yang disebutkan sebelumnya, banyak di antara kita yang selama ini tidak tepat dalam memahami dan menggunakan kata urbanisasi. Kata ini cenderung disempitkan maknanya menjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Selain mengalami penyempitan makna, kata urbanisasi juga cenderung dimaknai negatif. Padahal sejatinya, laju urbanisasi merepresentasikan sesuatu yang positif, bahkan merupakan indikator kemajuan.

Tingkat urbanisasi yang tinggi merupakan indikasi bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan dan kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Urbanisasi yang disebabkan oleh ekspansi daerah perkotaan, misalnya, merupakan indikator kemajuan pembangunan. Bukti bahwa perekonomian terus bertumbuh dan bertransformasi dari sektor pertanian-pedesaan ke sektor perkotaan (industri dan jasa).

Urbanisasi juga berpotensi mereduksi kemiskinan. Dalam Global Monitoring Report 2013, berjudul "Rural-Dynamics and The Millennium Development Goals", Bank Dunia melaporkan bahwa dua dari sepuluh orang yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan di wilayah Asia Timur dan Pasifik difasilitasi oleh proses urbanisasi.

Sementara itu, nyaris 30 persen peningkatan dalam pencapaian tujuan Millennium Development Goals (MDGs) terkait dengan sanitasi merupakan resultante dari proses urbanisasi, baik berupa migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan maupun ekspansi daerah perkotaan.

Kemiskinan

Kembali ke soal pendatang baru yang menyerbu Jakarta setiap tahun pasca-Lebaran. Hal ini selalu memunculkan dilema. Di satu sisi, migrasi ke Jakarta untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik merupakan hak setiap orang, yang tentu saja tak boleh dihambat. Di sisi lain, kehadiran para pendatang baru tersebut justru menambah runyam berbagai persoalan sosial di Ibu Kota, seperti meningkatnya kemiskinan kota, kriminalitas, dan kekumuhan.

Faktanya, para pendatang baru yang mengadu nasib ke Jakarta bersamaan dengan arus balik Lebaran umumnya berpendidikan rendah dan minim keahlian. Tidak membikin heran, bila selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menunjukkan “resistensi” terhadap arus pendatang baru ke Ibu Kota. Hal ini tercermin dari penerapan Operasi Yustisi kependudukan yang kerap dilakukan secara intensif  pasca Lebaran.

Yang terbaru, resistensi tersebut tercermin dari penerapan perjanjian pidana untuk para pendatang baru yang terjaring razia masalah sosial, sebelum mereka dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.

Seperti halnya Operasi Yustisi, penerapan perjanjian pidana sebetulnya tetap saja tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya: kemiskinan. Sejatinya, arus urbanisasi ke Ibu Kota merupakan konsekuensi dari sulitnya merengkuh kesejahteraan di desa. Karena itu, arus pendatang baru dalam jumlah besar pasca-Lebaran ke Jakarta bakal terus berulang selama sektor pertanian-pedesaan masih menjadi pusat kemiskinan.

Rumusnya sederhana, bila desa tetap miskin dan tertinggal, arus pendatang baru Jakarta akan terus berlangsung dan sulit dibendung.  Karena itu, perekonomian pedesaan harus dibangun. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun