Beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah mengevaluasi dan membenahi Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Pasalnya, program ini dianggap tidak memenuhi unsur enam T, yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi, yang dijadikan indikator efektivitas program. KPK memberi tenggat waktu selama 30 hari kerja untuk membenahi Program Raskin.
Sudah menjadi rahasia umum, di lapangan, selama ini penyaluran raskin memang bermasalah. Beras bersubsidi ini acapkali menyasar golongan mampu (inclusion error) dan tidak menjangkau rumah tangga yang pantas menerima (exclusion error), terlambat sampai ke rumah tangga sasaran, memiliki mutu yang kurang (baca: tidak) layak untuk dikonsumsi, dijual lebih tinggi dari harga patokan, dan kuantitasnya lebih sedikit dari yang seharusnya.
Dalam beberapa kasus, Raskin bahkan seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin meraup rente ekonomi, karena harganya yang lebih rendah dibanding harga pasar. Alih-alih dikonsumsi oleh rumah tangga miskin, Raskin justru sering dijual kembali di pasar dengan harga pasar, sehingga frasa “beras untuk rakyat miskin” menjadi kehilangan makna.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang secara rutin dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Maret 2013, jumlah rumah tangga penerima raskin mencapai 31,2 juta rumah tangga atau sekitar 49,45 persen dari total rumah tangga di Indonesia. Padahal, pada tahun lalu, Program Raskin hanya menyediakan bantuan beras bersubsidi untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) atau 20 persen rumah tangga dengan taraf kesejahteraan terendah.
Hal ini memberi konfirmasi bahwa Raskin memang menyasar rumah tangga mampu, yang seharusnya tidak menerima bantuan. Hasil Susenas menunjukkan, sekitar 7 juta rumah tangga penerima raskin justru adalah rumah tangga yang sama sekali tidak layak menerima bantuan karena termasuk dalam 20 persen rumah tangga dengan taraf kesejahteraan tertinggi.
Hasil Susenas juga mengungkap fakta, RTS-PM ternyata harus menebus Raskin dengan harga yang lebih tinggi dari yang semestinya. Rata-rata, setiap rumah tangga harus membayar sebesar Rp2.300 untuk mendapatkan satu kilogram Raskin. Padahal, harga tebus beras Raskin yang ditetapkan oleh pemerintah hanya sebesar Rp1.600 per kilogram. Kuantitas Raskin yang diterima oleh setiap rumah tangga juga rata-rata hanya sebesar 13,42 kilogram dalam sebulan. Padahal galibnya, kuantitas Raskin untuk setiap RTS-PM sebanyak 15 kilogram per bulan.
Terlepas dari berbagai masalah yang melingkupi Program Raskin, program yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998 ini harus tetap dipertahankan. Mengapa? Karena, beras adalah komoditas yang sangat penting bagi kelompok penduduk miskin. Statistik menunjukkan, dalam kondisi normal (tanpa ada gejolak harga) sekitar 20-25 persen pengeluaran penduduk miskin ditujukan untuk membeli beras.
Peran penting beras dalam pola konsumsi penduduk miskin juga tercermin dari komposisi garis kemiskinan, jumlah rupiah yang digunakan untuk menentukan siapa Si Miskin. Statistik menunjukkan, sekitar 34 persen dari garis kemiskinan adalah pengeluaran untuk membeli beras. Itu artinya, pergerakan dan stabilitas harga beras sangat memengaruhi fluktuasi jumlah penduduk miskin.
Bila harga beras naik, porsi pengeluaran penduduk miskin yang tersedot untuk membeli beras bakal meningkat. Konsekuensinya, pemenuhan kebutuhan pangan lain seperti protein dan kebutahan non-pangan (kesehatan dan pendidikan) bakal terganggu. Pengalaman menunjukkan, lonjakan penduduk miskin sepanjang 2005 hingga 2006 dipicu oleh meroketnya harga-harga bahan makanan, terutama beras, sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pendek kata, beras murah (baca: bersubsidi) adalah kebutuhan pokok yang tak bisa ditawar bagi penduduk miskin dan rentan miskin.
Berbagai persoalan yang menjadi penyebab tidak terpenuhinya unsur enam T dalam pelaksanaan Program Raskin sudah lama diketahui. Karena itu, sudah semestinya pemerintah segera melakukan pembenahan agar program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di bidang pangan yang menyedot Rp21,4 triliun anggaran negara ini benar-benar efektif dan memberi maslahat bagi 15,5 juta rumah tangga kurang mampu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H