Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013) mengungkap fakta menarik, sekitar 23 persen atau 7,4 juta petani di Indonesia adalah perempuan.
Mereka disebut petani karena mengelola satu atau lebih kegiatan usaha pertanian. Itu artinya, mereka bukan sekedar pekerja keluarga tidak dibayar (membantu suami) atau buruh tani, tetapi pengelola yang bertanggungjawab penuh terhadap usaha tani yang dijalankan.
Sebagian mereka bahkan adalah kepala rumah tangga, yang memiliki otoritas penuh dalam pengambilan keputusan. Ini tentu merupakan temuan menarik yang perlu ditelaah lebih dalam oleh mereka yang tertarik dengan isu-isu pemberdayaan perempuan, khususnya di sektor pertanian.
Petani perempuan paling banyak bergumul di subsektor tanaman pangan atau padi dan palawija, jumlahnya mencapai 4,3 juta petani. Meski dibutuhkan sebuah penelaahan lebih lanjut untuk memastikan seberapa besar kontribusi para petani perempuan terhadap produksi komoditas pertanian, fakta ini menunjukkan bahwa mereka memiliki peran yang sangat penting dalam produksi pangan di negeri ini.
Kontribusi perempuan di sektor pertanian sebetulnya lebih besar lagi ketika peran mereka sebagai pekerja keluarga tidak dibayar atau buruh tani ikut diperhitungkan. Faktanya, nyaris semua kegiatan usaha pertanian, khususnya budidaya tanaman pangan, yang dijalankan oleh petani laki-laki tak lepas dari peran serta kaum perempuan. Ini dengan mudah bisa kita jumpai di desa-desa.
Repsentasi kemiskinan
Dewasa ini, isu pemberdayaan gender masih menjadi fokus perhatian pemerintah. Secara faktual, ada gap yang cukup lebar dalam hal kualitas pembangunan manusia antara kaum laki-laki dan perempuan.
Hal ini tercermin dari rendahnya skor indeks pembangunan manusia (IPM) kaum perempuan bila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Itu artinya, tingkat kapabilitas (pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan) kaum perempuan jauh tertinggal bila dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Hal yang sama nampaknya juga terjadi di sektor pertanian. Mudah diduga, tingkat kapabilitas petani perempuan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan petani laki-laki. Bahkan, boleh dibilang, sebagian besar petani perempuan adalah petani miskin.
Lazimnya, keberadaan seorang petani perempuan dalam suatu rumah tangga adalah wujud “keterpaksaan” karena kaum laki-laki yang semula menjadi tulangpunggung keluarga telah meninggal dunia atau merantau ke kota. Selain menjadi petani, petani perempuan juga terpaksa menjadi kepala keluarga.
Dalam menyikapi hal ini, pemerintah perlu mengupayakan adanya diversifikasi kegiatan ekonomi bagi kaum perempuan di pedesaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya bergantung pada usaha tani. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H